Penghulu para syahid (sayyid asy-syuhada), “Orang yang ditangisi sebelum terbunuh” (qatil al-abra'a), Imam Husain as mempunyai kuniyah (julukan) yang menarik, Abu Abdillah. Julukan ini artinya, “Ayah Abdullah.” Bangsa Arab mempunyai kebiasaan menyapa satu sama lain dalam berbagai cara. Cara pertama adalah memanggil orang dengan namanya, cara kedua dengan merujuk gelarnya, dan cara ketiga menyapa orang dengan julukannya. Misalnya, nama imam pertama kita adalah Imam Ali as, laqab (gelar)nya “Asadullah,” “Haidar,” sementara julukannya (yang dinisbatkan kepada ayah, ibu atau anak) adalah Abul Hasan, atau Abul Hasanain.
Kamis, 24 Juni 2010
Agama Dan Kosmologi
Kosmologi yang benar adalah fondasi yang harus dibangun oleh setiap insan beragama. Dengan metode epistemologis apakah kosmologi ini bisa dibangun? Mungkinkah pengetahuan empiris dapat memecahkan masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah posisi tasawuf dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia?
Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan sesederhana mungkin.
Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan sesederhana mungkin.
Agama Epistemologi
Mengapa dewasa ini agama terlihat berjarak jauh dengan prilaku masyarakat penganutnya? Di negara-negara yang dihuni oleh komunitas yang ‘taat’ beragama, korupsi merajalela bahkan membudaya, ketidakdisiplinan menjadi ‘gaya hidup’ dan kriminalitas menjadi ‘menu utama’ bahkan yang sangat sadis.
Jika kita mempelajari agama secara fenomeologis, maka kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bertalian dengannya sebagai sebuah gejala atau fenomena sosial dan sejarah, seperti aliran-aliran dan para penganutnya.
Setidaknya, ada dua cara memandang agama. Agama dapat dipandang secara fenomenologis, berupa sejarah kemunculan, tata cara dan prilaku para penganutnya. Agama juga dapat dipandang secara epistemologis, berupa tujuan-tujuan prinsip-prinsip yang melandasinya.
Jika kita mempelajari agama secara fenomeologis, maka kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bertalian dengannya sebagai sebuah gejala atau fenomena sosial dan sejarah, seperti aliran-aliran dan para penganutnya.
Rabu, 23 Juni 2010
Teologi Baru Dan Keadilan
Keadilan mengandung keseluruhan kebajikan dan menandakan konformitas utuh dengan patron perilaku moral yang diakui. Untuk tujuan analisis rasional para filosof klasik, mengikuti Aristoteles, memilih untuk menekankan referensi istilah kepada kebajikan khusus, membedakan misalnya antara keadilan dan persamaan atau antara keadilan dan kebaikan.
Dalam Republic, keadilan mengatur serta menyeimbangkan kebajikan-kebajikan lain. Fungsi-fungsinya adalah untuk memperoleh keharmonisan dan untuk memelihara keseimbangan. Keadilan berasal dari setiap elemen dalam masyarakat dalam melakukan tugas yang tepat. Untuk berpaling dari dualisme Plato, yang akan berperan untuk mengangkat keadilan dan mencela hukum positif, Aristoteles menganggap keadilan sebagai imanen dalam hukum yang bekerja dan dengan demikian memberinya suatu fungsi yang nyata-nyata lebih efektif. Karena imanen, keadilan pada prinsipnya menimbulkan antitesis dan ketegangan yang sulit, adalah kepada kepercayaan abadi Aristoteles yang tidak seperti sebagian para pendahulunya, ia secara jujur meninggalkan masalah yang belum dapat dipecahkan itu. Kant dan muridnya telah menguraikan konsep keadilan hanya secara sepintas setelah memberikan suatu definisi positivistik dengan sederhana tentang "adil" dan "zalim" dalam Metaphysics of Morals. Hume concern dengan sebagian besar koherensi dan konsisensi moral dan dipuaskan dengan memperoleh keadilan dalam pelayanannya dengan menyerahkan bahwa "manfaat publik adalah satu-satunya asal keadilan."1
Selasa, 22 Juni 2010
Nasrollah: Kami Akan Perangi Israel Seperti Pejuang Karbala
Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrollah, dalam acara peringatan Asyura di selatan Beirut, hari Ahad (27/12) menyampaikan pidato di hadapan masyarakat Lebanon yang disiarkan langsung televisi-televisi Arab. Di awal pidatonya, Sayid Hasan Nasrollah mengatakan, "Pada hari ini saat waktu dzuhur, kami memanggil Imam Husein as dan mengatakan; Seandainya kami ada di zamanmu, kami akan menolongmu. Kami menyampaikan maaf kepadamu karena kami bukan di zamanmu. Meski demikian, kami di zaman ini memikul misi-misimu untuk menghidupkan kebenaran, menjaga Islam, membela nilai-nilai ilahi, menolong kaum tertindas dan mengorbankan darah kami di jalan-mu." Ditegaskannya pula, "Wahai Husein, panggilanmu tidak mengenal tempat dan waktu."
Allah Dan Tuhan
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.
Rabu, 16 Juni 2010
Tuhan Berfilsafat ?
Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur’an menganjurkan kita untuk ‘percaya bahwa’? Apakah Al-Qur’an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?
Jumat, 11 Juni 2010
Ayatullah Mirza Ali Mesykini
Ayatullah Mirza Ali Mesykini terlahir dengan nama Ali Akbar Faidh, dari keluarga ulama pada 1300 H di Mesykin, kota di baratdaya Iran. Ia diberkati usia panjang, 86 tahun, yang dihabiskan dalam aktivitas perjuangan demi terwujudnya revolusi Islam Iran dan aktivitas keilmuan di hauzah-hauzah ilmiyah.
Ia mempelajari ilmu-ilmu Islam tingkat dasar dari ayahnya. Menyusul kepergian sang ayah, beliau melanjutkan studinya di Ardabil demi menekuni gramatika dan struktur bahasa Arab (nahwu dan sharf). Setelah itu, beliau memaksimalkan studinya secara intensif di kota “sejuta ulama”, Qum.
Ia mempelajari ilmu-ilmu Islam tingkat dasar dari ayahnya. Menyusul kepergian sang ayah, beliau melanjutkan studinya di Ardabil demi menekuni gramatika dan struktur bahasa Arab (nahwu dan sharf). Setelah itu, beliau memaksimalkan studinya secara intensif di kota “sejuta ulama”, Qum.
Langganan:
Postingan (Atom)