Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur’an menganjurkan kita untuk ‘percaya bahwa’? Apakah Al-Qur’an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?
Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur’an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].
Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]”. Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “ama khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum “apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay’, menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay’iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma’dum)?”
Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.
Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah).
Ada kalanya al-Qur’an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”[8].
Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.
Ada kalanya al-Qur’an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”. Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.[9].
Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur’an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur’an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda’), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional. [10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur’an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبين
الم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء
Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut : [12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق,
“هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا"
"ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur’an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan).
Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.[14] Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali
Ayat-ayat Kosmologis
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.[19]
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an[20]. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.
Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:
Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu’ (bukti kontradiksi)’.
Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.
Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik ‘Arsy.[26]"
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata ‘Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.
Keempat: "Katakanlah,’Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?’ Maka apakah kalian tidak mendengar?[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,’Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?’ Tidakkah kalian perhatikan?"
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: ‘Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?’ Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.
Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.
Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,’Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?[30]"
Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[31]”. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."
Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara’ (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.
Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah ‘illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).
Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.
Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur’an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur’an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.
Catatan Kaki
[1] Ja’far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu’i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106.
[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader’s Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, hal. 37 Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu’i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja’far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An’am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An’am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11
Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur’an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].
Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]”. Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “ama khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum “apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay’, menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay’iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma’dum)?”
Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.
Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah).
Ada kalanya al-Qur’an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”[8].
Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.
Ada kalanya al-Qur’an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”. Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.[9].
Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur’an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur’an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda’), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional. [10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur’an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبين
الم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء
Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut : [12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق,
“هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا"
"ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur’an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan).
Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.[14] Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali
Ayat-ayat Kosmologis
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.[19]
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an[20]. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.
Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:
Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu’ (bukti kontradiksi)’.
Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.
Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik ‘Arsy.[26]"
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata ‘Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.
Keempat: "Katakanlah,’Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?’ Maka apakah kalian tidak mendengar?[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,’Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?’ Tidakkah kalian perhatikan?"
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: ‘Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?’ Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.
Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.
Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,’Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?[30]"
Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[31]”. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."
Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara’ (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.
Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah ‘illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).
Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.
Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur’an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur’an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.
Catatan Kaki
[1] Ja’far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu’i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106.
[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader’s Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, hal. 37 Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu’i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja’far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An’am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An’am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar....