Rabu, 26 Januari 2011

Argumen Pembuktian Eksistensi Tuhan dan Tauhid


Pengetahuan dan pengenalan kepada sumber dan pangkal eksistensi senantiasa menjadi   substansi tema pembahasan bagi agamawan, teolog, dan filosof disepanjang sejarah. Pada sisi lain, konsepsi tentang sumber eksistensi serta hubungannya dengan manusia dan alam telah menjadi inti munculnya perbedaan agama dan maktab keyakinan. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin peran pengetahuan tentang penegasan eksistensi Tuhan dan tauhid merupakan hal yang sangat prinsipal bagi mereka. Dengan kata lain, mereka berupaya mengkonstruksi dan menyempurnakan pengetahuannya tentang keberadan wujud Tuhan dan berusaha mendesain argumen yang berfungsi menguatkan kepercayaan dan keyakinan pada wujud-Nya serta menghilangkan keraguan dan skeptis terhadap-Nya. Di samping itu tentunya menegaskan tentang ketauhidan-Nya.


Argumen pembuktian eksistensi Tuhan yang tergolong penting di antaranya:
- Argumen keteraturan alam;
- Argumen huduts;
- Argumen wujub dan imkan;
- Burhan shiddiqin. 

Argumen-argumen seperti huduts, keteraturan alam, serta wujub dan imkan, semuanya menjadikan wujud kontingen (makhluk) sebagai perantara dalam pembuktikan eksistensi Tuhan. Tetapi argumen terakhir, yaitu burhan shiddiqin, tidak membutuhkan wujud kontingen dalam penegasan eksistensi Tuhan. Oleh sebab itu, argumen ini merupakan argumen sempurna dan lebih kuat dibanding argumen-argumen lainnya.


Bagian Pertama: Argumen-argumen Pembuktian Eksistensi Tuhan
Dalam tulisan ini kita berupaya memaparkan beberapa argument pembuktian eksistensi Tuhan untuk berhadapan dengan kaum ateis dan orang-orang yang meragukan tentang eksistensi-Nya.



Argumen Keteraturan (Burhan Nazhm)
Burhan keteraturan ini merupakan paling jelasnya argumen dan paling mudahnya argument serta berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk menguraikan argumen ini terlebih dahulu kami memperjelas apa yang dimaksud keteraturan. Keteraturan adalah, bahwa di antara perkara-perkara yang beragam dan berbeda-beda , apakah itu bagian dari satu majemuk atau individu-individu satu mahiyah, atau mahiyah-mahiyah yang beragam menghasilkan hubungan, kesesuaian, dan keharmonisan khusus dan mereka semua terarahkan ke arah tujuan khusus.

Bentuk Argumen Keteraturan
Untuk menguraikan argument ini dibutuhkan dua mukadimah:
Dalam alam tabiat terdapat system keteraturan yang kokoh dan ini disaksikan oleh semua manusia dengan baik. Seluruh kitab-kitab ilmiah pada hakikatnya menafsirkan dan menjelaskan hubungan-hubungan keteraturan ini dan kenyataan yang ada dalam alam tabiat ini.
Akal dengan jelas menyatakan, mustahil keteraturan ini muncul dari pelaku (pencipta) yang tidak berkesadaran, kuasa, bijak, dan berilmu. Sebab mengkonsepsi keteraturan, yakni mengkonsepsi sebab pelaku yang berkesadaran, kuasa, bijak, dan ‘alim.
Konklusi: Keteraturan alam tabiat (alam semesta) berasal dari pelaku yang maha berkesadaran, maha kuasa, maha bijak (maha hikmah), dan maha ‘alim.

Burhan Nazhm dalam Al-Qur’an
Lihat Al-Qur’an surah al-Fushilat ayat 53:
سَنُريهِمْ آياتِنا فِي الْآفاقِ وَ في‏ أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ شَهيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu (bahwa Dia Hak Swt) adalah benar (hak). Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”



Beberapa isykalan terhadap argument ini
David Hume, filosof empiris memberikan isykalan terhadap argument ini.
Isykalan-isykalan:
Syarat-syarat burhan eksperimen tidak dimiliki oleh burhan nazhm.
Dalam alam tabiat terdapat kejadian yang tidak teratur yang tidak sesuai dengan klaim keberadaan keteraturan.
Ada kemungkinan bahwa keteraturan dalam alam tabiat ini muncul dari dalam diri maujud-maujud tabiat itu sendiri.
Anggaplah kita menerima bahwa burhan nazhm itu membuktikan keberadaan pelaku yang berkesadaran, kuasa, bijak, dan berilmu, tetapi ini tidak berarti bahwa burhan ini juga telah menetapkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan pencipta.

Jawaban terhadap isykalan-isykalan di atas:
Argumen keteraturan bukanlah argument eksperimen sehingga dia harus mempunyai syarat-syarat argument eksperimen. Tetapi ia adalah sebuah argument akal. Dengan kata lain, akal ketika menyaksikan hubungan antara maujud-maujud, adanya kausalitas di antara mereka, dan kebertujuan dari maujud-maujud alam tabiat ini maka ia menghukumi bahwa antara semua ini dan berkesadaran serta berilmu terdapat hubungan kemestian.
Isykal nomor dua tidak punya hubungan dengan burhan nazhm. Sebab topan, banjir, gempa bumi, dan bencana-bencana alam lainnya, mereka itu juga mempunyai keteraturan khusus.
Paling maksimal yang bisa timbul dari alam tabiat adalah suatu keteraturan terbatas yang tidak dapat mengestimasi dan menjamin arah dan kebutuhan-kebutuhan yang mendatang seluruh maujud-maujud alam tabiat ini. Di samping itu, ia tidak akan mampu mengadakan hubungan yang sangat menakjubkan pada maujud-maujud alam ini, itupun pada maujud-maujud yang sangat beragam dan mempunyai efek serta kekhususan yang berbeda-beda.
Risalah argument keteraturan ini memang tidak sampai kepada penetapan sifat-sifat sempurna pencipta yang lainnya seperti wajibul wujud dan sarmadi. Akan tetapi risalah argument ini hanya menegaskan bahwa alam tabiat ini tidak muncul secara kebetulan dan tidak juga dari kekhususan esensialnya sendiri, tetapi timbul dari maujud berkesadaran, kuasa, penuh perhitungan, dan ‘alim.

Argumen Huduts
Imam Ali As berkata, segala puji milik Allah Swt dimana dalil-dalil tidak pernah akan sampai mengkonsepsi (kunhu dzat-Nya) …hudutsnya makhluk-makhluk menunjukkan atas keqadiman-Nya dan hudutsnya alam dalil atas wujud-Nya.

Definisi dan pembagian Huduts
Huduts adalah sesuatu dimana ia sebelumnya tidak ada (didahului ketiadaan) lantas menemukan keberadaan.
Huduts terbagi dua;
Huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya hudutsnya hari ini yang dalam zaman kemarin ia tidak ada.
Huduts dzati, yakni dzat sesuatu sebelumnya tidak ada, kemudian menemukan keberadaan, seperti hudutsnya semua maujud-maujud mumkin. Huduts dzati pangkalnya adalah imkan dzati. Ini berkenaan dengan argument imkan dan wujub yang akan kami sebutkan nantinya.

Uraian argument: Kehidupan dalam alam tabiat ini adalah suatu perkara ‘hadits (baharu) dan bukan dzati. Dan ketika kehidupan ‘hadits (baharu) maka dengan hukum badihi akal menyatakan, setiap perkara bukan dzati, seperti setiap perkara ‘hadits butuh kepada sebab. Sekarang, sebab itu adalah materi dan tabiat itu sendiri ataukah sesuatu yang lain di luar dari alam materi dan tabiat ini. Tentunya materi sendiri tidak mungkin penyebab kehidupannya sendiri, sebab kehidupan alam materi adalah perkara ‘hadits (baharu). Yakni sebelumnya materi tidak mempunyai kekhususan ini dan bagaimana mungkin faqid syai mu’thi syai? Oleh karena itu, sebabnya mestilah datang dari luar dirinya sendiri. Dengan demikian jelaslah bahwa risalah argument huduts ini hanya menetapkan keberadaan wujud sebab dan muhdits bagi tabiat dan kehidupannya, tidak lebih dari itu.



Burhan Imkan dan Wujub
Untuk menguraikan argument ini terlebih dahulu dibutuhkan empat poin yang harus ditetapkan sebagai mukadimah argumen:
Maujud terbagi atas dua
Maujud wajib (wajibul wujud) yaitu maujud yang keberadaannya adalah daruri secara dzat
Maujud mumkin (mumkinul wujud, wujud kontingen) yaitu maujud yang keberadaannya dinisbahkan kepada wujud (ada) dan adam (tidak ada) adalah sama. Seperti individu-individu manusia.
Setiap mumkinul wujud butuh kepada sebab pengada untuk mengada. Masalah ini adalah jelas secara badihi. Sebab sesuatu yang dinisbahkan dengan ada dan tidak ada adalah sama secara dzat maka untuk keluar dari keadaannya tersebut, ia mesti butuh kepada sebab. Misalnya jika ia ingin mengada, ia butuh sebab pengada yang mengadakannya. Dan jika ia mengada dengan sendirinya, ini menyalahi asumsi kita bahwa ia adalah mumkin secara dzat.
Daur adalah mustahil. Makna daur adalah misalnya A sebab bagi keberadaan B dan B juga adalah sebab bagi keberadaan A. Dalil kemustahilan ini adalah jika A sebab B maka A mesti lebih dahulu ada dari B, dan jika B juga sebab A maka B mesti lebih dahulu ada dari A. Yakni masing-masing keduanya juga lebih dahulu dan juga lebih akhir, dan ini adalah berkumpulnya dua hal yang kontradiksi.
Tasalsul adalah mustahil. Tasalsul adalah silsilah tanpa akhir dari sebab akibat mumkinul wujud dimana setiap dari mereka merupakan sebab bagi akibat berikutnya. Dalil kemustahilannya adalah, ketika seluruh bagian-bagian silsilah ini, yang pada kenyataannya mereka semua ini adalah akibat, maka yang manakah dari mereka merupakan sebab akhir yang mengadakan seluruh akibat-akibat ini? Sementara kita telah mengasumsikan bahwa seluruh bagian-bagian adalah akibat dan mereka tidak berakhir kepada satu sebab akhir. Karena jika berakhir pada satu sebab maka dengan sendirinya silsilah ini tidaklah tanpa akhir dan ini menyalahi asumsi kita tentang ketakberakhiran silsilah mumkinul wujud ini.





Penjelasan tentang Burhan Imkan dan Wujub ini:
Kita tidak ragu bahwa terdapat maujud-maujud mumkinul wujud di alam ini. Alamat keberadaan mereka itu adalah kita dengan jelas menyaksikan maujud-maujud yang tadinya tidak ada kemudian mewujud dan juga kita menyaksikan setelah mereka ada, mereka kemudian fana atau menemukan perubahan-perubahan.

Sekarang ada empat asumsi tentang keberadaan mereka:
Pertama, maujud-maujud ini sama sekali tidak mempunyai sebab. Asumsi ini adalah batil, sebab sebagaimana dalam mukadimah dua dijelaskan bahwa setiap mumkinul wujud atau wujud kontingen butuh kepada sebab untuk mengada.
Kedua, sebagian maujud-maujud ini dalam silsilah alam eksistensi merupakan sebab bagi sebagian lainnya dan sebaliknya. Ini juga batil, sebab ini memestikan bentuk daur yang batil.
Ketiga, masing-masing setiap bagian dari alam eksistensi ini merupakan akibat dari sebab sebelumnya hingga tanpa akhir, yakni dalam bentuk tasalsul. Ini juga adalah batil serta mustahil.
Keempat, di luar dari alam mumkin ini terdapat keberadaan wajibul wujud dimana Dialah yang merupakan sebab pertama dan sebabnya seluruh sebab-sebab.

Burhan Imkan dan Wujub dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al-Fatir ayat 15:
يا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَراءُ إِلَى اللهِ وَ اللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَميدُ
Hai manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Al-Qur’an surah at-Thur ayat 5:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْ‏ءٍ أَمْ هُمُ الْخالِقُونَ
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?


Isykal dari Betrand Russel
Asumsi tentang keberadaan sebab seluruh sebab-sebab yang tidak bersebab menyalahi kaidah akal yang menyatakan, tidak ada sesuatu yang dapat mengada tanpa sebab.
Jawab: Kaidah akal ini berhubungan dengan maujud-maujud mumkinul wujud (wujud kontingen), tidak berhubungan dengan wujud qua wujud (maujud bima huwa maujud).

Burhan Shiddiqin
Burhan shiddiqin adalah suatu argumen dalam membuktikan eksistensi Tuhan hanya berpijak pada kesaksian  realitas wujud hakiki. Yakni argumentasi dengan wujud hakiki Tuhan, tanpa berargumen dengan sesuatu yang bukan wujud hakiki Tuhan. Dalam argumen ini tak menggunakan wujud kontingen (baca: makhluk) sebagai perantara dalam menegaskan eksistensi Tuhan.
Burhan ini dinamakan "shiddiqin" karena hanya menggunakan "Shidq" (kebenaran) murni. Karenanya, tidak ada keraguan sama sekali dalam argumen ini. Serta dalam burhan shiddiqin "thariiq" (jalan) adalah tujuan itu sendiri.
Mulla Shadra berkata, " … jalan kepada tujuan (baca: Tuhan) adalah tujuan itu sendiri. Dan jalan itu adalah jalan shiddiqin, dimana orang-orang mempersaksikan Hak atas Hak." (Mulla Shadra, Al-Asfar, Jld. 6, Hal. 14)
Terdapat beberapa bentuk rumusan argumen shiddiqin. Pada kesempatan ini, kami cukupkan dengan menjabarkan dua bentuk argumen, sebagai berikut:

1. Argumen Shiddiqin Mulla Shadra
Bisa dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah filosof muslim pertama dalam dunia pemikiran Islam yang memperkenalkan burhan shiddiqin. Tetapi Mulla Shadra tidak menerima bahwa burhan yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina tersebut secara substansial tergolong ke dalam burhan shiddiqin. Walaupun pada akhirnya Mulla Sadra, dengan pendekatan yang bersifat toleran, menganggapnya sebagai burhan shiddiqin.
Selanjutnya, Mulla Shadra memperkenalkan burhan shiddiqin yang dikonstruksinya sendiri.  Untuk memahami burhan shiddiqin versi Mulla Shadra, diperlukan beberapa pendahuluan berkaitan dengan prinsip-prinsip burhan tersebut. Setelah itu, kita akan menjabarkan bentuk dari argumennya.
Adapun pendahuluan-pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kehakikian Wujud (Ashâlah al-Wujud)
Yakni, setelah kita menerima bahwa terdapat realitas di alam luar, dan yang merupakan realitas hakiki dan kenyataan itu adalah eksistensi bukan kuiditas. Dalam hal ini, kuiditas hanyalah bersifat majazi dan hadir setelah eksistensi. Kuiditas hanya "berwujud" di alam pikiran saja. Dengan ungkapan lain, kuiditas adalah batasan wujud.

b. Gradasi Wujud
Teori kehakikian wujud itu sendiri terbagi dalam beberapa teori:
Pertama: Wujud-wujud itu secara esensial saling  bertentangan satu dengan lainnya secara diametral dan horizontal.  Pandangan ini dianut oleh filosof peripatetik.
Kedua: Wujud yang hakiki (ashalah) hanya pada Wâjib al-Wujud dan bermakna bahwa zat Tuhan adalah hakikat wujud itu sendiri. Tetapi yang hakiki pada wujud-wujud kontingen (mumkin) adalah kuiditas (mahiyyah). Pandangan ini diperkenalkan oleh filosof Ilahi Dawwani.
        Ketiga: Semua realitas wujud, mulai dari wujud yang berintensitas lemah hingga yang berintensitas kuat, baik wujud sebab maupun wujud akibat, semuanya merupakan satu hakikat wujud yang bertingkat dan berjenjang (gradasi, tasykik). Perbedaan dalam tingkatan wujud dan persamaan dalam wujud, semuanya kembali pada satu hakikat wujud. Teori ini digagas oleh filosof Ilahi Mulla Shadra.

          c. Simplisitas Wujud (Besâthat al-Wujud)
Wujud tidak mempunyai bagian-bagian dan wujud bukan bagian dari sesuatu. Sebab  tak ada sesuatu kecuali wujud itu sendiri.

d. Hakikat Wujud adalah Mustahil Tiada
Ketiadaan  wujud, tidak bermakna bahwa wujud itu menerima ketiadaan. Melainkan berarti bahwa keterbatasan wujud-wujud khusus (baca: wujud kontingen). Hadirnya "ketiadaan" pada wujud kontingen karena watak aslinya yang bersifat kekurangan, kelemahan, dan kebergantungan. Jadi, wujud akibat secara esensial  mempunyai kekurangan dan keterbatasan dibandingkan dengan sebabnya. Ketiadaan di sini bisa dimaknai kekurangan, kelemahan, ketaksempurnaan dan kebergantungan wujud akibat.
Dengan memahami pendahuluan-pendahuluan di atas, maka kita dapat merumuskan argumen shiddiqin berdasarkan mazhab filsafat Mulla Shadra sebagai berikut ini:
Segala sesuatu yang maujud di alam luar maka ia Wâjib al-Wujud atau mumkin al-wujud (wujud kontingen). Jika wujud itu adalah wujud sempurna dan tingkatan wujudnya paling tinggi, tidak ada baginya kekurangan dan tidak bergantung pada wujud lain, maka wujud tersebut adalah Wâjib al-Wujud. Dan sebaliknya, jika suatu wujud memiliki kekurangan dan tak sempurna, maka realitas wujud ini niscaya bergantung pada wujud hakiki (baca: wujud sempurna). Oleh sebab itu, wujud yang paling tinggi tingkatannya, niscaya memiliki kesempurnaan tak terbatas, tak butuh dan mandiri secara mutlak. Sedangkan tingkatan-tingkatan wujud lain adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri. Dan jika tingkatan paling tinggi tak berwujud, maka niscaya tingkatan-tingkatan wujud lain  juga tak akan berwujud. (Mulla Shadra, Al-Asfar, Jld. 6, Hal. 14-16)

2. Burhan Shiddiqin Allamah Thabathabai
Rumusan burhan shiddiqin Allamah Thabathabai bisa ditemukan di dalam catatan kaki kitab Asfar dan kitab beliau Ushul-e Falsafe-ye wa rawesy-e realism.
Berikut ini  kami akan menjabarkan argumen shiddiqin yang dikutip dari catatan kaki beliau pada kitab Asfar:
Realitas wujud eksternal adalah sesuatu yang mustahil ditolak. Dan setiap wujud, realitasnya ditetapkan dengan pengetahuan. Dan realitas wujud secara esensial menolak ketiadaan, walaupun sebatas asumsi. Jika kita asumsikan bahwa dalam sedetik atau secara mutlak semua realitas-realitas wujud tersebut meniada, maka setiap realitas-realitas tersebut -yang kita asumsikan tiada- sebenarnya tetap memiliki eksistensi. Jadi, asumsi ketiadaan realitas wujud, bukan berarti secara hakiki realitas wujud tersebut meniada. Bahkan asumsi ketiadaan realitas wujud adalah realitas wujud itu sendiri. Demikian pula, jika sofisme menyangka obyek-obyek luar adalah ilusi, atau mereka ragu dalam realitas wujud mereka, maka secara hakiki obyek-obyek yang mereka ragukan eksistensinya, merupakan realitas wujud itu sendiri.
Jadi, jika realitas wujud tersebut secara esensial menolak ketiadaan dan kebatilan, maka ia secara hakiki adalah Wâjib al-Wujud. Suatu realitas dimana ia adalah Wâjib al-Wujud secara hakiki sudah ditetapkan, dan obyek-obyek lain yang mempunyai realitas dalam tataran wujud mereka secara esensi butuh, bergantung, dan bepijak pada Wâjib al- Wujud. (Catatan kaki Allamah Thabathabai pada kitab Al-Asfar Jld. 6, Hal. 14-16)
Beliau, dalam penjelasannya, menyimpulkan dan berkata, "Dari sini, jelaslah bagi orang yang berpikir bahwa prinsip wujud wajib (baca: Wâjib al-Wujud) secara hakiki adalah niscaya bagi manusia, dan burhan-burhan yang menegaskan hakikat wujudnya hanyalah bersifat mengingatkan."

Burhan Shiddiqin dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al-Fushilat ayat 53:
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ شَهيدٌ
“Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (disaksikan segala sesuatu)?”

Bagian Kedua: Argumen-argumen Pembuktian Tauhid
Berdasarkan salah satu pembagian yang berkembang, tauhid nazhari dibagi atas tiga bahagian:
Tauhid dzati atau tauhid pada dzat
Tauhid sipat atau tauhid pada sipat
Tauhid af'ali atau tauhid pada af'al (perbuatan)
Kami akan memulai pembahasan pada tauhid dzat dan kemudian membahas bahagian-bahagian lain tauhid nazari, serta selanjutnya pada tauhid amali.



Argumen pembuktian tauhid dzat
Sebelum kita menjabarkan argument penetapan tauhid dzat, ada baiknya kita menjelaskan beberapa hal terlebih dahulu, di antaranya:
Makna Tauhid Dzat serta Dimensi-dimensinya
Tauhid dzat, dalam istilah berkembang bermakna dzat Tuhan adalah satu, tidak satupun "mitsl" (serupa), sekutu, dan serupa-Nya.
Tetapi tauhid kadang digunakan dalam makna yang lebih luas dan disamping makna yang disebutkan di atas, juga meliputi "Basathat" (kesederhanaan) dzat Tuhan dan penegasian rangkapan dari dzat Tuhan. Dalam pandangan umum ini, tauhid dzat meliputi dua permasalahan:
Dzat Tuhan dari segala dimensi adalah sederhana, dan tidak ada sama sekali jalan rangkapan pada-Nya. Tauhid dzati dalam dimensi ini pada dasarnya adalah sama dengan menegasikan segala bentuk multiplicitas pada internal dzat Tuhan.
Dzat Tuhan tidak mempunyai setara, sekutu, dan serupa. Tauhid dzati dalam dimensi ini bermakna menegasikan multiplicitas pada eksternal dzat; yakni disamping dzat Tuhan, tidak ada dzat lain yang juga adalah Tuhan.
Sebagaimana yang disaksikan, dapat diketahui bahwa dimensi tauhid dzat yang pertama adalah penafian rangkapan, sedangkan dimensi kedua adalah penafian kejamakan dari dzat Tuhan. Sebagian dari ahli kalam dengan bersandarkan pada ayat dan riwayat, mereka menamakan dimensi pertama adalah tauhid "ahadi" dan dimensi kedua adalah tauhid "waahidi". Akan tetapi makna yang paling tepat dari tauhid dzat adalah dzat Tuhan tidak hanya tidak rangkap dan jamak, tetapi secara asas dan prinsip mustahil adanya rangkapan dan kejamakan pada dzat Tuhan.
Sebelum meninjau dimensi-dimensi tauhid dzat dan menjelaskan argument para ahli kalam, adalah pada tempatnya kita memberi penekanan pada poin ini bahwa tauhid dzat sebagaimana yang dipaparkan didalam Al-qur'an dan riwayat-riwayat maksum as, memiliki kandungan yang sangat dalam, dan kisi-kisi serta batin yang bermacam-macam. Sudah jelas untuk memahami kisi-kisi prinsip akidah ini secara lebih dalam, tidak mungkin tanpa mempunyai mukaddimah-mukaddimah yang dibutuhkan secara niscaya; oleh karena itu senantiasa harus kita ingat bahwa perenungan dan pemikiran yang dalam pada ayat-ayat Al-qur'an dan riwayat-riwayat yang mempunyai kandungan tauhid, dapat mengarahkan kita pada kisi-kisi yang lebih dalam dari prinsip akidah ini.

Kesederhanaan Dzat Tuhan
Kami sudah utarakan bahwa dalam satu pandangan keyakinan terhadap kesedehanaan dzat Tuhan dan penafian rangkapan, adalah bahagian dari tauhid dzat. Akan tetapi sebahagian dari ahli kalam melebihkan pembahasan ini tidak dalam kandungan pembahasan tauhid dzat, tetapi mengutarakannya dalam bahagian sipat-sipat "salbi" (negasi) Tuhan; sebab penegasian rangkapan dapat dipandang sebagai salah satu dari sipat salbi Tuhan.
Apapun penafsirannya, untuk memahami dimensi-dimensi tauhid ini sebaiknya pertama kita meninjau pembagian rangkapan terlebih dahulu. Berdasarkan satu penggolongan, rangkapan memiliki tiga jenis:
Rangkapan akal : Rangkapan ini berada pada suatu kondisi dimana sesuatu (objek) memiliki bagian-bagian sesuai dengan analisa akal dan dalam wadah akal (tidak di luar akal). Komposisi sesuatu dari wujud dan adam, komposisi quiditas-quiditas "imkani" (possible) dari mahiyyah dan wujud dan komposisi mahiyyah yang tidak sederhana dari genus dan pembeda, merupakan bentuk-bentuk dari rangkapan akal.
Rangkapan luar : Yang dimaksud dari rangkapan luar ini adalah sesuatu (objek) yang rangkap yang mempunyai bagian-bagian di luar. Komposisi jisim dari materi dan form dan komposisi benda-benda materi dari unsur-unsur pertama, merupakan rangkapan luar.
Rangkapan kuantitas : Rangkapan ini terjadi pada sesuatu (objek) yang mempunyai ukuran kuantitas (panjang, lebar, dan volume), dan dikarenakan mempunyai kuantitas maka ia dapat menerima pembagian. Akan tetapi bagian-bagian ini tidak dalam bentuk aktual, tetapi dalam bentuk potensi, dan sesudah sesuatu tersebut terurai baru ia akan mendapatkan bentuk actual. Perlu diungkapkan bahwa suatu golongan dari ahli kalam memandang rangkapan kuantitas termasuk salah satu dari bagian rangkapan luar; sebab wadah wujud dari bagian-bagian kuantitas adanya di luar akal. Berdasarkan kondisi ini dikarenakan dalil perbedaan rangkapan kuantitas dengan pembagian rangkapan luar lainnya dari sisi actual dan ketiadaan actual bagian-bagian, maka kedua jenis rangkapan ini masing-masing menempati posisi secara berdampingan.

Model Argumen Tauhid Dzat
Setelah dijelaskan bagian-bagian rangkapan yang bermacam-macam, saatnya giliran dijelaskan argument para ahli kalam dalam menafikan dimensi-dimensi rangkapan dari dzat Tuhan. Tetapi sebelumnya alangkah baiknya kami isyaratkan satu poin berkenan model argument tauhid.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembahasan makrifat Tuhan dan tauhid, disamping dalam ilmu kalam, dalam ilmu-ilmu seperti filsafat dan irfan juga menjadi topic pembahasan dan penelitian; sebab itu disamping ahli kalam, para filosof dan urafa islam juga mengutarakan pandangan-pandangan dalam terhadap masalah ini. Dan pada bagian-bagian yang membutuhkan istidlal, masing-masing dari aliran pemikiran ini mengutarakan konstruksi argument berasaskan prinsip-prinsip dan metode-metode spesifik mereka. Natijah dari usaha yang luas tersebut, zaman ini kita mendapati suatu pembahasan seperti tauhid dengan model argument yang melimpah. Dan dengan memperhatikan tujuan tulisan yang hadir ini, tidak ada jalan lain kita harus memilih sebagian dari argument-argumen itu.

Argumen Ketiadaan Komposisi pada Dzat Tuhan
Untuk menetapkan kesederhanaan mutlak dzat Tuhan harus dibuktikan bahwa tidak ada jalan sedikitpun dari bagian-bagian rangkapan pada dzat Tuhan. Dengan memperhatikan kejamakan dan keragaman bagian-bagian rangkapan, secara zahir tidak ada satu dalil ditangan yang dengan berpegang padanya dapat menetapkan kemustahilan semua bagian-bgian rangkapan tersebut pada Tuhan dalam satu sisi; sebab itu tidak ada jalan lain kecuali kita mendapatkan konstruksi dalil-dalil yang beragam untuk tujuan di atas.
Penegasian rangkapan luar
Salah satu dalil dalam menegasikan rangkapan luar pada dzat Tuhan, dengan uraian sebagai berikut: Setiap kali kita perhatikan sesuatu yang rangkap di sisi bagian-bagiannya, kita akan mendapatkan bahwa wujud sesuatu tersebut ( yakni wujud keseluruhan) berada dalam suatu kondisi bergantung terhadap wujud bagian-bagiannya, dan berada dalam suatu bentuk dimana dengan menafikan salah satu dari bagian-bagian, maka "kull" (wujud keseluruhan) juga akan menjadi tiada. Dengan ungkapan lain akal menghukumi bahwa setiap bagian, dalam wujudnya, dahulu atas kull (keseluruhan).
Oleh karena itu wujud setiap sesuatu yang rangkap didahului oleh bagian-bagiannya dan bergantung pada bagian-bagiannya. Tetapi wujud Tuhan tidak mungkin didahului oleh wujud lain selain-Nya atau wujud Tuhan bergantung padanya; sebab hal ini tidak sesuai dengan kedarurian wujud wajibul wujud. Sebagai natijah dari asumsi adanya rangkapan pada dzat Tuhan, keniscayaan dzat wajib sebagai wujud mumkin; padahal Tuhan adalah wajibul wujud secara dzat. Dengan ini menjadi jelas kalau dzat Tuhan tidak mungkin mempunyai bagian-bagian luar.
Penegasian rangkapan akal
Salah satu argument yang paling pendek dalam menafikan rangkapan akal dari dzat Tuhan seperti berikut ini:
Rangkapan genus dan pembeda serta rangkapan wujud dan mahiyyah merupakan kekhususan dari mahiyyah-mahiyyah. Dengan kata lain akal hanya dalam wilayah mahiyyah-mahiyyah, dimana dengan memisahkan sisi yang sama mahiyyah dari sisi khusus mahiyyah, ia (akal) memperoleh mafhum genus dan differensia dan menyusun keduanya satu sama lain. Dari sisi lain sudah jelas bahwa rangkapan antara wujud dan mahiyyah hanya dapat dikonsepsi jika terdapat jejak mahiyyah disitu. Oleh sebab itu rangkapan antara genus dan differensia serta rangkapan wujud dan mahiyyah hanya berlaku pada mahiyyah; sekarang sebagaimana dipembahasannya sendiri sudah ditetapkan, bahwa dzat suci Tuhan adalah wujud murni dan tidak mempunyai mahiyyah. Sebagai konklusi, dikarenakan dzat Tuhan tidak mempunyai mahiyyah, maka dzat Tuhan bersih dan suci dari rangkapan-rangkapan tersebut (rangkapan genus dan differensia serta rangkapan wujud dan mahiyyah).
Kita mesti ingat bahwa untuk rangkapan akal juga dapat dikonsepsi bentuk yang lain; yakni rangkapan antara wujud dan adam. Dalil dalam menegasikan jenis rangkapan ini adalah bahwasanya dzat Tuhan dikarenakan wajibul wujud maka (ia) memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud; sebab jika seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud bagi mumkinul wujud dimana mereka adalah "ma'lul" (akibat-akibat) Tuhan maka tidak mungkin Tuhan sebagai sebab dari segala kesempurnaan-kesempurnaan tersebut tidak memilikinya, sebab sesuatu "faaqid" (tidak punya) kesempurnaan-kesempurnaan tersebut tidak dapat memberikan kepada yang lainnya; oleh sebab itu sama sekali tidak dapat dinegasikan kesempurnaan dari dzat Tuhan; oleh karena itu rangkapan antara wujud dan adam (dengan makna yang disebutkan; yakni ketiadaan kesempurnaan wujud) tidak ada jalan bagi Tuhan.
Penegasian rangkapan kuantity
Salah satu dalil yang sangat pendek yang sudah dibangun untuk menegasikan rangkapan kuantitas , dengan penjelasan sebagai berikut:
Jika dalam dzat Tuhan diasumsikan terdapat bagian kuantitas, maka bagian tersebut ia mumkinul wujud atau wajibul wujud. Jika ia mumkinul wujud, meniscayakan "juz" (bagian) dengan "kull" (totalitas) berebada dari segi "imkan" dan "wujub"; sebab meniscayakan bahwa dzat Tuhan (sebagai kull) adalah wajibul wujud sementara bagiannya adalah mumkinul wujud, dan ini adalah mustahil; sebab tidak mungkin dari susunan mumkinul wujud berpotensi menjadi wajibul wujud.
Adapun bentuk kedua yaitu bagian kuantitas yang diasumsikan adalah wajibul wujud juga, itupun tidak mungkin; sebab sebagaimana kami katakan, bagian-bagian kuantitas adalah wujud potensi dan mustahil suatu wajibul wujud adalah wujud potensi.
Dalil lain yang dapat mendukung statmen di atas adalah bahwasanya rangkapan kuantitas terhitung sebagai spesifikasi jisim, sedangkan jisim juga mempunyai mahiyyah kejisiman; padahl dzat suci Tuhan tidak memiliki mahiyyah.
Dengan memperhatikan dalil-dalil yang disebutkan tersebut, maka menjadi terbukti bahwa dzat Tuhan dari segala sisi adalah sederhana dan tidak ada sama sekali jalan untuk terjadinya rangkapan pada-Nya. Dengan demikian dapat dibuktikan secara akal sisi pertama dari tauhid dzat, yakni tauhid "ahadi".

Menetapkan Ketunggalan Tuhan dan Menafikan Kejamakan
Setelah menetapkan kesederhanaan dzat Tuhan, selanjutnya kita akan menetapkan tauhid dzat "wahidi"; yakni menetapkan bahwa dzat Tuhan adalah Esa dan tidak mungkin ada wujud yang serupa dan sederajat dengan-Nya. Pada bahagian ini juga terdapat banyak argument yang dikonstruksi, namun kami mencukupkan dengan menyebutkan beberapa dalil saja:
Dalil pertama (kesempurnaan mutlak dan ketakterbatasan Tuhan) : Premis asli dalil ini adalah bahwasanya dzat Tuhan tidak terbatas, sempurna, dan mutlak dan tidak dapat sama sekali dikonsepsi keterbatasan pada-Nya; sebab wajibul wujud meniscayakan bahwa dzat Tuhan tidak memiliki ketaksempurnaan; sebab ketaksempurnaan sama dengan kekurangan dan butuh, sedangkan butuh tidak sesuai dengan wajibul wujud.
Sekarang jika kita asumsikan dua Tuhan (wajibul wujud), maka niscaya diantara keduanya berbeda; sebab dengan menegasikan semua bentuk perbedaan, maka asumsi dua wajibul wujud juga akan ternegasikan. Dalam bentuk ini, kita menuju pada dua kemungkinan (kemungkinan ketiga tidak mungkin lagi dikonsepsi):
Kemungkinan pertama bahwa salah satu dari dua Tuhan yang diasumsikan adalah sempurna mutlak dan tidak terbatas serta memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, sedangkan satunya lagi adalah kurang dan terbatas serta tidak memiliki sebahagian kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan pertama. Dalam bentuk ini sudah diketahui bahwa Tuhan hakiki adalah yang partama dan yang kedua disebabkan kekurangan dan ketebatasan tidak bisa ia adalah Tuhan. Dengan demikian kemungkinan pertama ini, dari asumsi kejamakan, justru berakhir pada tauhid (keesaan Tuhan).
Adapun kemungkinan kedua bahwa masing-masing dari dua Tuhan yang diasumsikan mempunyai kesempurnaan yang mana yang lainnya tidak miliki. Natijah dari kemungkinan ini yakni tidak satupun dari keduanya itu adalah Tuhan dan ini adalah menyalahi asumsi. Dalil dari bahasan ini yaitu berdasarkan kemungkinan kedua, dua Tuhan diasumsikan, terangkap dari wujud dan adam (ketiadaan sebahagian kesempurnaan-kesempurnaan wujud); padahal sebelumnya telah dibahas secara jelas jika dzat Tuhan bersih dari setiap bentuk rangkapan.
Dengan demikian asumsi kejamakan (berbilang) wajibul wujud, dalam bentuk pertama berakhir pada tauhid dan dalam bentuk kedua meniscayakan suatu perkara mustahil (terangkapnya dzat Tuhan). Dan konklusinya asumsi kejamakan Tuhan adalah suatu asumsi yang tidak rasional.
Mungkin juga dikatakan terdapat kemungkinan ketiga dimana luput dari perhatian dalil-dalil di atas, dan kemungkinan itu adalah dua Tuhan yang diasumsikan memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi. Dalam menjawab kritik tersebut kami ingatkan bahwa sebagaimana pada awal istidlal sudah dikatakan, asumsi kejamakan meniscayakan suatu bentuk perbedaan; oleh sebab itu jika dua wajibul wujud yang diasumsikan, keduanya memliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, maka tidak akan terdapat lagi perbedaan diantara keduanya, dan ini tidak sesuai dengan asumsi pertama kita (yakni asumsi adanya dua Tuhan).
2. Dalil kedua (menafikan rangkapan): Jika diasumsikan dua Tuhan (wajibul wujud), maka dalam prinsip keniscayaan wujud keduanya adalah sama. Dari sisi lain sesuai dengan dalil yang diisyaratkan sebelumnya, asumsi kejamakan meniscayakan suatu bentuk perbedaan diantara keduanya. Sebagai contoh ketika dibicarakan tentang adanya dua buku, harus keduanya disamping memiliki kesamaan dalam hal kebukuan, juga paling minimal dari satu sisi (misalnya dari sisi warna, tempat, ketebalan, kandungan, dan…) keduanya mempunyai perbedaan. Oleh sebab itu asumsi adanya kejamakan Tuhan mempunyai pengertian bahwa dua Tuhan yang diasumsikan, dalam prinsip Ke-Tuhanan (keniscayaan wujud) keduanya adalah sama dan dari sisi bahwa dua Tuhan, maka terdapat perbedaan diantara keduanya.
Natijah dari asumsi di atas, masing-masing dari dua Tuhan yang diasumsikan mempunyai sesuatu yang dengannya mereka sama (sisi kesamaan) dan mempunyai sesuatu yang dengannya mereka berbeda (sisi perbedaan); oleh karena itu meniscayakan masing-masing dzat mereka terangkap dari dua bagian : 1) bagian yang sama dengan Tuhan lain yang diasumsikan (sesuatu yang dengannya mereka sama); 2) bagian yang terkhususkan (sesuatu yang dengannya mereka berbeda); dan ini adalah makna terangkapnya dzat mereka; padahal kami sudah buktikan bahwa dzat Tuhan bersih dari berbagai bentuk rangkapan.
Dengan demikian secara singkat dari dalil tersebut adalah asumsi kejamakan wajibul wujud meniscayakan terangkapnya wajibul wujud, dan sebab terangkapnya wajibul wujud adalah mustahil, maka kejamakan wajibul wujud juga adalah mustahil (merupakan keniscayaan dari itu).
3.Dalil ketiga (Burhan Tamanu') : Salah satu dalil yang paling terkenal tentang Tauhid adalah dalil yang dikenal dengan nama "dalil tamanu". Tentang dalil ini terdapat paparan rumusan dan riwayat yang bermacam-macam, dimana kami hanya mengisyaratkan satu rumusan berikut ini :
Setiap kali diasumsikan dua Tuhan, maka kita akan menghadapi tiga kemungkinan :
Kemungkinan pertama : Hanya satu dari keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain; tapi yang lain tidak mampu melakukan hal ini. Dalam bentuk ini adalah jelas bahwa Tuhan hakiki adalah yang pertama dan yang kedua dikarenakan iradahnya terkalahkan, maka ia tidak mungkin adalah Tuhan.
Kemungkinan kedua : Masing-masing keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain.
Kemungkinan ketiga : Tidak satupun dari keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain.
Dua kemungkinan terakhir juga adalah suatu bentuk yang tidak sesuai dengan asumsi pertama kita, yakni asumsi adanya dua Tuhan; sebab kemungkinan kedua meniscayakan terkalahkannya iradah Tuhan-Tuhan yang diasumsikan dan kemungkinan ketiga mengharuskan kelemahan dan ketidakmampuan mereka dari keunggulan atas satu sama lain dan dua makna ini, yakni terkalahkannya iradah dan ketidakmampuan dari keunggulan yang lain adalah menyalahi wajibul wujud.
Oleh sebab itu kemungkinan kedua dan ketiga juga tidak rasional, dan sebab tidak ada kemungkinan yang lain lagi diantara kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka asumsi kejamakan Tuhan adalah batil.

Kesatuan Hakiki dan Kesatuan Angka
Diakhir pembahasan Tauhid dzati ini adalah sangat tepat kami utarakan beberapa catatan penting:
Ketunggalan dan keesaan Tuhan dalam pandangan kebanyakan masyarakat dikonsepsi dalam suatu bentuk kesatuan angka; yakni makna satunya Tuhan adalah sebagaimana makna yang digunakan untuk ibarat satu matahari dan atau satu bumi. Akan tetapi dengan perenungan rasional yang dalam dari satu sisi dan pengajaran Al-qur'an yang dalam serta sunnah islam dari sisi lain, makna lebih dalam dari tauhid dzati diberikan pada ikhtiyar kita yang biasanya disebut dengan tauhid hakiki.
Kesatuan angka dalam hal-hal dimana sesuatu berada dibawah konsepsi universal, dalam suatu bentuk yang memungkinkan keberadaan ekstensi-ekstensi yang banyak (berbilang) untuk konsepsi tersebut; oleh karena itu, disamping obyek (sesuatu) yang satu yang memiliki kesatuan bilangan, dapat juga obyek yang kedua dan ketiga atau…diasumsikan yang sama dengan itu, dalam suatu bentuk jika kita letakkan mereka saling berdampingan, kita akan sampai pada angka dua, tiga atau… Adapun dalam satu hakiki, kita tidak akan menghadapi sama sekali dengan konsepsi universal yang dapat mencakupi ekstensi-ekstensi beragam; akan tetapi di sini, sesuatu yang satu ada dalam suatu bentuk dimana secara asas asumsi dua, tiga atau… adalah mustahil untuknya.
Dengan perenungan yang dalam tentang hakikat dzat Tuhan menjadi jelaslah bahwa kesatuan Tuhan tidak seperti kesatuan angka; sebab tidak mungkin dihitung keberadaan satu atau beberapa Tuhan lain disamping Tuhan satu; bahkan Tuhan adalah esa, wujud murni dan tak terbatas serta kosong dari segala bentuk stipulasi dan syarat, dan asumsi adanya wujud lain disamping wujud ini adalah sesuatu yang mustahil dan tidak rasional.

Tauhid Dzat dalam Al-qur'an
Dalam pembahasan sebelumnya yang telah lewat dimana membahas bagian pertama dari pembagian tauhid nazari yakni tauhid dzati, yang ia sendiri mempunyai dua sisi : 1) Keyakinan terhadap kesederhanaan dzat yang kadang disebut juga dengan "tauhid ahadi"; 2) Keyakinan terhadap keesaan dzat Tuhan dan menafikan sekutu serta keserupaan dari-Nya yang kadang disebut dengan "tauhid wahidi". Dengan memperhatikan penyebaran nisbi keyakinan kesyirikan seperti keyakinan terhadap dua atau beberapa Tuhan (seperti keyakinan pada dualitas dan trinitas) maka Al-qur'an karim memberi penekanan lebih banyak pada sisi kedua dari bagian tauhid dzati; kendati demikian sebagian dari ayat-ayat dapat juga digunakan pada prinsip tauhid "ahadi" dan kesederhanaan dzat Tuhan.
Al-qur'an dalam surah As-syuuraa dalam menjelaskan tauhid "waahidi" dengan sangat jelas menyampaikan tentang ketunggalan dan ketakserupaan Tuhan: "Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia maha mendengar dan maha melihat" (Q.S : As-Syuuraa : 11).
Dengan memperhatikan kaidah bahasa arab, ayat ini menafikan keberadaan semua bentuk keserupaan dan kemisalan bagi Tuhan.
Akan tetapi tentang makna yang dalam dari "kata" kalimat permulaan ayat ini apa, terdapat perbedaan pandangan diantara para mufassir. Sumber perbedaan ini adalah huruf "kaf" dalam kalimat "kamitslihi" yang merupakan huruf "tasybiih" (penyerupaan) dan bermakna misal dan seperti; oleh karena itu, seolah-olah di sini kata "seperti" terulang dua kali dan makna "lafzi" ayat adalah: "Tidak ada sesuatu seperti seperti Dia". Di sini, masing-masing mufassir berusaha menjelaskan suatu bentuk hikmah dari pengulangan ini. Segolongan berkata secara asas huruf "kaf" di sini adalah huruf tambahan dan digunakan untuk lebih menegaskan kandungan dari ayat. Sebahagian lagi berkeyakinan bahwa kata "mitsl" dalam ayat bermakna "dzat", oleh karena itu maknanya adalah "Tidak ada sesuatu yang seperti (serupa) dzat-Nya".
Dari perbedan yang telah disebutkan, kita lewatkan saja, yang pasti makna ayat secara umum adalah jelas. Dzat Tuhan dari segala sisi adalah tidak terbatas dan maujud-maujud yang lain, semuanya adalah terbatas dan adalah alami bahwa dzat yang tidak terbatas tidak mungkin dibandingkan dengan maujud-maujud terbatas serta tidak ada tempat mempersoalkan jarak antara terbatas dan tidak terbatas. Dengan demikian, ayat yang menjadi topic bahasan dengan jelas menegaskan tentang ketakserupaan dzat Tuhan.
Ayat-ayat lain yang menjelaskan dan mempunyai makrifat tinggi tentang keesaan Tuhan adalah ayat-ayat surah At-Tauhid : "Katakanlah Tuhan adalah satu. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada sesuatupun yang menyetarai-Nya" (Q.S : At-Tauhid : 1-4).
Dalam ayat pertama, Tuhan memerintahkan pada nabi-Nya mengumumkan secara jelas bahwa Allah adalah satu. Sebahagian dari mufassir berkeyakinan bahwa dua sipat "ahad" dan "waahid" ketika dimutlakkan pada Tuhan, maka satu sama lain adalah berbeda dan "ahad" menunjukkan atas kesederhanaan dzat sedangkan "waahid" menunjukkan atas keesaan-Nya. Dalam bentuk ini, maka ayat pertama surah Tauhid menjelaskan kesederhanaan dzat dan menafikan segala bentuk rangkapan dari dzat Tuhan. Dari sisi lain, pada ayat akhir surah ini, secara gamblang dijelaskan bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai "kufu" (setara). "Kufu" bermakna kesetaraan dan keserupaan; oleh karena itu, paedah ayat ini menafikan segala bentuk sekutu dan kesetaraan untuk Tuhan serta menetapkan keesaan-Nya. Akan tetapi mungkin kita akan berkata bahwa maksud dari "kufu" adalah suatu maujud yang dalam dzat atau perbuatan setara dengan Tuhan. Dalam bentuk ini, ayat yang menjadi topik bahasan, disamping tauhid dzat, menetapkan juga tauhid perbuatan seperti tauhid dalam kepengaturan dan kepenciptaan.
Poin yang perlu diperhatikan juga dari al-qur'an adalah didalam banyak ayat-yat sesudah menyipatkan Tuhan dengan ketunggalan dan keesaan, segera kemudian menegaskan sipat "qahhaar" (keperkasaan) Nya : "Maha suci Dia; Tuhan yang Esa lagi maha perkasa". (Q.S : As-Zumar : 4)
Menurut keyakinan sebahagian mufassir, rahasia kebersamaan dua sipat "ketunggalan" dan "keperkasaan" adalah bahwa jika suatu maujud terbatas dan terhingga, pada dasarnya, maujud tersebut dikuasai dan dibawah pengaruh kait dan batasan yang membuatnya terbatas. Berasaskan ini, maka keperkasaan mutlak Tuhan bermakna bahwa tidak ada satupun kait, syarat dan batasan yang menghukuminya; bahkan Ia adalah wujud mutlak yang meliputi seluruh maujud-maujud.
Dengan demikian, kebersamaan yang menjadi topic bahasan pada dasarnya menjelaskan bahwa ketunggalan Tuhan bukan suatu bentuk ketunggalan dari angka; sebab sesuatu yang tunggal secara angka, dari satu sisi dibatasi kemungkinkan dikonsepsinya sesuatu yang semisal dengannya; dengan dalil bahwa dalam wilayah dan batasan, dimana diasumsikan sesuatu yang setara dengannya tidak mempunyai kehadiran di situ dan ketidak hadiran ini adalah suatu bentuk keterbatasan sehingga dengan demikian maka sesuatu yang pertama adalah dikuasai dan dikalahkan kait dan keterbatasan-keterbatasan.
Konklusi dari itu bahwa ayat-ayat yang menyertakan sipat keperkasaan dengan sipat ketunggalan, pada dasarnya menjelaskan bahwa Tuhan tidak hanya tidak mempunyai kesetaraan, bahkan secara asas keberadaan sesuatu yang setara dengannya adalah tidak rasional dan mustahil dan ini adalah makna dari "wahdah hakiki" (kesatuan hakiki) yang berhadapan dengan "wahdah adadi" (kesatuan angka).

Tauhid Dzat dalam Riwayat
Diantara riwayat-riwayat dari para maksum as, terungkap juga ucapan agung dan tinggi tentang masalah tauhid dzat. Sebagai contoh, Nabi mulia saaw. dalam menjelaskan tentang apa makrifat……Tuhan, bersabda : "Hendaklah kamu mengetahui bahwa Dia tidak mempunyai mitsal dan serupa dan hendaklah kamu mengetahui Dia adalah Tuhan yang Esa, pencipta, kuasa, awal, akhir, zahir, dan batin, tidak ada yang sekufu dengan-NYa dan tidak ada yang semitsal dengan-Nya; ini adalah makrifat Tuhan yang layak bagi-NYa"
Nabi saaw. dalam hadits mulia ini, pertama menegaskan ketakserupaan (ketaksetaraan) Tuhan dan kemudian setelah menyebutkan sebagian dari sipat-sipat afirmatif-Nya, untuk yang kedua kalinya kembali kepada masalah tauhid dengan menjelaskan Tuhan suci dan bersih dari kesetaraan dan keserupaan.
Amirul mukminin Ali as. juga ketika dalam peperangan jamal ditanya oleh seseorang tentang tauhid, beliau mengisyaratkan empat makna untuk tauhid dan melihat hanya dua makna yang layak untuk maqam ketuhanan: "Adapun dua bagian dari tauhid yang (pemutlakannya) tidak boleh bagi Tuhan, (salah satunya adalah) bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dan maksudnya adalah satu angka. Jenis satu ini adalah tidak layak bagi Tuhan; sebab apa yang tidak mempunyai yang kedua, Dia tidak masuk dalam angka… dan (yang lain adalah) bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dari masyarakat dan maksudnya adalah sejenis dari genus. Jenis satu ini juga tidak layak bagi Tuhan kita; sebab meniscayakan keserupaan. Adapun dua bagian yang tetap untuk Tuhan adalah seseorang berkata: Dia adalah satu dan diantara sesuatu Ia tidak mempunyai keserupaan. Ya, Tuhan kita seperti demikian. (Dan yang keduanya adalah) seseorang berkata: Tuhan adalah "ahadiyyul makna" dan maksudnya adalah Dia tidak menerima pembagian dalam wujud, akal dan imajinasi. Ya, demikianlah Tuhan kita".
Sebagimana yang kita lihat, imam as. tidak memandang dua bagian dari pembagian "ke-satu-an" layak untuk maqam ketuhanan dan tidak membenarkan perelasian dua macam kesatuan tersebut pada dzat Tuhan :
Bagian pertama, kesatuan angka. Dan dalil penafiannya adalah bahwa satu angka, memiliki angka dua, angka tiga serta… dan atau paling minimal memungkinkan keberadaan kedua untuknya; padahal tidak ada kemungkinan dikonsepsi sesuatu yang kedua untuk Tuhan.
Bagian kedua, adalah kesatuan yang mana sesuatu disipati dengannya dalam perbandingan dengan kebersamaannya dalam specis atau genus. Dalam hal ini, kita mempunyai pemahaman specis atau genus tertentu yang dimutlakkan disamping atas obyek yang menjadi tinjauan, juga dimutlakkan untuk obyek-obyek lain (seperti Zaid yang dipandang sebagi seorang manusia atau sebagai hewan). Jenis kesatuan ini juga ternegasikan terhadap Tuhan; sebab keniscayaannya adalah kita juga meninjau bagi-Nya keserupaan dengan obyek-obyek yang bersekutu dengan-Nya dalam specis atau genus dan sesuatu ini tidak lain kecuali adalah penyerupaan Tuhan dengan selain-Nya.
Selanjutnya, imam as. mengungkap dua jenis kesatuan yang boleh dimutlakkan untuk Tuhan. Dengan merenungi kalimat imam as. maka menjadi jelas bahwa dua jenis kesatuan ini, adalah meninjau pada dua sisi yang telah kami sebutkan dalam tauhid dzat; yakni ketaksetaraan dzat Tuhan dan kesederhanaan dzat Tuhan. Kalimat: "Tidak ada baginya keserupaan dalam sesuatu", adalah meninjau pada sisi pertama; yakni bahwasanya Tuhan tidak memiliki keserupaan dan kemitsalan; dan kalimat: "Sesungguhnya Tuhan adalah ahadiyyul makna…", adalah menjelaskan sisi yang kedua, yakni kesederhanaan dzat-Nya. Yang mengagumkan adalah bahwasanya imam as. dengan suatu metode mengisyaratkan pada bagian-bagian rangkapan: Secara zahir maksud dari pembagian dalam wujud adalah pembagian dalam rangkapan luar dan maksud dari pembagian dalam akal juga adalah rangkapan akal (seperti terangkapnya sesuatu dari wujud dan mahiyyah). Pembagian imajinativ juga masuk pada proporsi dimana sesuatu tidak mempunyai bagian-bagian secara actual, dengan bantuan potensi imajinasi kita dapat membagi sesuatu itu (seperti pembagian zaman dengan bagian-bagian yang diasumsikan).
Apapun bentuk penafsiran, imam as. memandang bahwa tauhid dzat bermakna menegasikan setiap bentuk sekutu dan serupa dan juga menafikan setiap bentuk rangkapan dari dzat Tuhan, oleh karena itu beliau memandang bahwa makna demikian ini adalah layak bagi Tuhan.
Amirul mukminin di tempat lain secara jelas mengingkari kesatuan angka bagi Tuhan : "(Tuhan) adalah tunggal yang ketunggalan-Nya bukan angka dan Dia adalah abadi yang wujud-Nya tidak mempunyai akhir"
Dari imam Shadiq as. juga diriwayatkan bahwa seorang sahabat beliau bertanya tentang makna "Allahu akbar". Orang itu berkata : "Tuhan lebih besar dari segala sesuatu". Imam as.berkata :"Apakah disamping Tuhan ada sesuatu sehingga Tuhan lebih besar darinya?" Ketika itu imam as. sendiri yang menjelaskan makna "Allahu akbar" seperti ini : "Tuhan lebih besar dari apa yang disipatkan (pada-Nya)"
Tidak diragukan, imam as. dalam ungkapan ini mengisyaratkan salah satu dari paling dalamnya tingkatan-tingkatan tauhid: Adalah dengan makna tauhid murni dimana kesatuan hakiki, wujud mutlak dan ketidakterbatasan Tuhan secara asas tidak menyisakan tempat untuk membandingkan Dia dengan makhluk-makhluk-Nya; sebab setiap bentuk perbandingan mengandung penyerupaan Tuhan dengan selain-Nya. Ya, tauhid murni memestikan bahwa Tuhan suci dan bersih dari setiap bentuk penyifatan, sebab penyifatan itu sendiri adalah meniscayakan penyerupaan.

Argumen pembuktian Tauhid Sifat
Setelah dijelaskan makna dari tauhid sifat, adalah sepatutnya kami isyaratkan sekarang sebagian dari dalil-dalil rasional tentangnya. Bermacam-macam argument yang sudah dikonstruksi dari ahli teologi dan para filososof yang sebagian dari dalil dan argument itu berbasiskan atas premis-premis yang sulit. Di sini kami cukupkan dengan menyebutkan tiga dalil yang mempunyai tingkat kesulitan lebih sedikit :

Argumen Pertama
Dalil ini berbasiskan atas dua premis pokok :
Kesempurnaan mutlak Tuhan meniscayakan bahwa bentuk penyifatan Dia terhadap sifat-sifat-Nya, adalah paling sempurnanya sisi-sisi penyifatan;
Paling sempurnanya bentuk penyifatan adalah bahwa dzat sesuatu, dengan dzatnya, yakni mempunyai sifat tanpa butuh pada terjadinya penyifatan di luar dari dzat.
Konklusi : Kesempurnaan mutlak Tuhan meniscayakan bahwa dzat suci Dia, tanpa butuh pada keberadaan sifat di luar dari dzat, tersifati dengan sifat-sifat- Nya.
Hasil dalil ini adalah keidentikan sifat-sifat dengan dzat, dalam perbandingan dengan perbedaan keduanya terhitung sebagai suatu bentuk kesempurnaan dan dari sisi bahwa Tuhan mempunyai seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, maka seharusnya dzat Dia adalah identik (sama) dengan sifat-sifat-Nya.
Telah distatmenkan bahwa premis-premis dalil ini, adalah badihi dan tidak butuh dengan penetapan : Dengan menganalisa makna dari kesempurnaan mutlak akan menjadi jelas bahwa komprehensi ini meniscayakan suatu maujud yang diketahui sebagai sempurna mutlak, dalam seluruh sisi, adalah sempurna hatta dari sisi bentuk kepemilikan sifat-sifatnya. Dari dimensi lain, akal dengan membandingkan dua kondisi, yakni keidentikan dzat dengan sifat dan perbedaan dzat dengan sifat, menghukumi bahwa kondisi pertama, adalah bahwa suatu dzat tanpa butuh pada sesuatu di luar dirinya mempunyai suatu sifat, dari kondisi kedua adalah lebih sempurna.

Argumen Kedua
Premis-premis inti dari dalil ini diuraikan sebagai berikut :
Dzat Tuhan, adalah wajibul wujud dan sebab dari seluruh sebab-sebab serta semua maujud-maujud (tanpa perantara atau dengan perantara) merupakan akibat Dia;
Seluruh kesempurnaan-kesempurnaan kewujudan akibat (seperti ilmu, kudrah dan…), dalam bentuk lebih sempurna terdapat dalam dzat sebab;
Jika sifat-sifat Tuhan berada di luar dari dzat-Nya, maka dzat Tuhan akan kosong dari semua bentuk kesempurnaan.
Dengan menggabungkan dua premis pertama, akan dihasilkan bahwa dzat
Tuhan memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan dan setiap kali hasil ini disertakan dengan premis ketiga, maka dihasilkan bahwa sifat-sifat Tuhan tidak di luar dari dzat-Nya, bahkan identik dengan dzat-Nya.
Dalil ini dapat dijelaskan dalam model yang lebih mudah : Jika sifat-sifat dzat Tuhan yang merupakan "sinkh" (kesesuaian) kesempurnaan-kesempurnaan kewujudan, berada di luar dari dzat-Nya, maka meniscayakan bahwa dzat Tuhan kosong dari setiap bentuk kesempurnaan; sedangkan "kewujuban" (kedarurian) wujud dan ke-sebab-an dari seluruh sebab-sebabnya Tuhan memestikan bahwa pada tataran dzat-Nya dan tanpa butuh pada perkara di luar dari dzat-Nya, adalah memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan. Oleh sebab itu, kewujuban wujud dan ke-sebab-an dari seluruh sebab-sebabnya Tuhan meniscayakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah identik (sama) dengan dzat-Nya.

Argumen Ketiga
Jika sifat-sifat Tuhan adalah tidak identik dengan dzat-Nya, maka kita menghadapi dua kemungkinan :
Sifat Tuhan adalah bagian dari dzat-Nya;
Sifat Tuhan berada di luar dari dzat-Nya.
Kemungkinan pertama adalah batil; sebab berujung pada terangkapnya dzat tuhan; padahal sudah ditetapkan dalam pembahasan tauhid zat bahwa dzat tuhan dari seluruh sisi adalah sederhana.
Dalam kemungkinan kedua juga kita mengarah pada dua asumsi: ataukah sifat yang diasumsikan di luar dari dzat, adalah wajibul wujud, ataukah mumkinul wujud. Asumsi pertama memestikan multiplisitas wajibul wujud dan ini menyalahi tauhid dzat "waahidi". Dalam asumsi kedua, yakni kemungkinan sifat Tuhan adalah mumkinul wujud, dapat dipersoalkan bahwa apa penyebab sifat ini? Dengan memperhatikan bahwa setiap wujud kontingen, apakah tanpa perantara ataukah dengan perantara, merupakan akibat dari satu wajibul wujud, jika penyebab sifat Tuhan adalah wajibul wujud lain, maka memestikan multiplisitas wajibul wujud yang bertentangan dengan tauhid dzat. Dengan demikian, asumsi yang hanya tersisa adalah bahwa sifat Tuhan di luar dari dzat Tuhan dan merupakan akibat dari dzat Tuhan. Oleh sebab itu meniscayakan bahwa Tuhan, dengan asumsi "faaqid" (tidak punya) sifat hidup atau sifat kuasa, pertama menjadikan hidup dan kuasa di luar dari dzat-Nya dan kemudian dalam bayangan ciptaan dan akibat-Nya, memiliki sifat hidup dan kuasa. Tetapi asumsi ini sangat tidak rasional; sebab (sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya) berasaskan suatu kaidah akal, sebab tidak bisa tidak memiliki kesempurnaan-kesempurnaan akibatnya dan tidak mungkin sipemberi sesuatu adalah tidak memiliki itu; oleh karena itu tidak mungkin dzat yang tidak mempunyai hidup dan kuasa, menjadi pencipta hidup dan kuasa.
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa seluruh kemungkinan-kemungkinan asumsi yang diutarakan tentang berbedanya dzat dan sifat Tuhan, adalah tidak rasional dan batil; dalam konklusi, dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya mempunyai satu misdak yang sederhana dan komprehensi-komprehensi sifat yang multiplisitas, semuanya mengisahkan wujud yang satu. Dengan ungkapan lain, akal manusia mengabstraksikan dari wujud Tuhan yang satu, sederhana dan tidak terbatas, terhadap-Nya sifat-sifat yang multiplisitas, seperti ilmu, kuasa dan hidup serta mempredikasikan semua sifat-sifat itu atas dzat-Nya, tanpa terdapat perbedaan dan multiplisitas diantara misdak-misdak sifat-sifat ini.

Perbedaan Komprehensi Sifat
Hingga kini sudah ditetapkan kesatuan sifat-sifat dan dzat Tuhan dalam wujud luar dan sudah ditegaskan bahwa sifat-sifat (sifat-sifat dzat) Tuhan, tidak berbeda dengan dzat-Nya dan bukan bagian dari-Nya; tetapi diantara mereka terdapat keidentikan wujud.
Aspek lain dari tauhid sifat yang sampai sekarang belum kami paparkan dalil penetapannya, adalah perbedaan komprehensi diantara sifat-sifat Tuhan. Untuk menetapkan prinsip ini, yakni perbedaan kekomprehensian sifat, biasanya seseorang merujuk kepada perenungan dalam penemuan-penemuan syuhudi dan batinnya dari komprehensi-komprehensi sifat-sifat dan penggunaan-penggunaan leksikal nama-nama mereka. Dengan perenungan dalam komprehensi-komprehensi seperti "alim", "kuasa", "berkehendak" dan sifat lainnya, kita mendapatkan bahwa mafhum-mafhum ini satu sama lain adalah berbeda. Salah satu dari bukti-bukti masalah ini adalah behwa berasaskan pemahaman umum ahli setiap bahasa, lafaz-lafaz yang menunjukkan atas mafhum-mafhum ini adalah tidak sinonim; misalnya, ketika seseorang yang berbahasa arab menyebut Tuhan dengan lafaz-lafaz seperti,
"maha tahu", "maha kuasa", "maha pengasih", dan "maha pengampun", ia memperhatikan kenyataan ini bahwa ia tidak menggunakan lafaz-lafaz sinonim dan ia tidak melakukan pengulangan komprehensi yang satu. Oleh karena itu, teori "kesatuan kekomprehensian sifat-sifat Tuhan" dengan penggunaan secara umum bahasa dan pengertian secara umum serta kesamaan masyarakat tidak sesuai dengan komprehensi-komprehensi sifat-sifat ini dan pandangan yang benar, adalah perbedaan kekomprehensian sifat.


Pembahasan Kesejarahan Tauhid Sifat
Dalam bab hakikat sifat Tuhan dan hubungannya dengan dzat Tuhan, diantara firkah-firkah Islam terdapat pandangan-pandangan yang berbeda-beda yang akan kami isyaratkan secara singkat tentangnya:
Keidentikan sifat dengan dzat dan perbedaan kekomprehensian diantara mereka : pandangan ini sesuai dengan pandangan secara umum ahli kalam Imamiyyah dan juga sebagian dari ahli kalam Mu'tazilah dan sebagaimana yang kita lihat, dalil rasional dan riwayat-riwayat para imam Syi'ah juga menegaskan itu.
Mengaksidennya sifat atas dzat dan keqadiman sifat : pandangan ini sudah diterima dari sisi pengikut kalam Asy'ari dan berdasarkan itu, sifat dzat Tuhan, seperti sebagian sifat-sifat makhluk-Nya berbeda dengan dzatnya dan perbedaan mereka dengan sifat-sifat makhluk hanya pada tataran bahwa sifat-sifat dzat Tuhan adalah qadim.
Isykal yang paling tepat yang ditujukan pada pandangan ini adalah tinjauan tentang berbedanya sifat qadim dan azali Tuhan dengan dzat-Nya, memestikan diterimanya beberapa maujud yang azali dan qadim dan keyakinan ini, tidak ada sesuatu yang lain kecuali syirik. Dengan kata lain, Asyaa'irah di sisi dzat Tuhan, berkeyakinan terhadap tujuh maujud qadim, yang dikenal dengan tujuh macam sifat yaitu, ilmu, kuasa, hidup dan…, serta dihitung dengan dzat Tuhan, maka mereka meyakini delapan macam yang qadim; padahal dalam tinjauan tauhid islam, dzat yang qadim dan azali hanyalah dzat Tuhan dan selain Dia, setiap yang ada adalah makhluk-Nya dan "haadits" (baharu).
Demikian pula pandangan Asyaa'irah adalah memestikan bahwa Tuhan dalam kesempurnaan-kesempurnaan-Nya butuh pada sesuatu di luar dari dzat-Nya dan ini tidak sinkron dengan kemahakayaan mutlak Tuhan.
Mengaksidennya sifat atas dzat dan baharunya sifat : Berasaskan teori ini yang dinisbahkan kepada firkah "Karraamiyyah", adalah bahwasanya sifat Tuhan mengaksiden atas dzat dan baharu. Dengan penjelasan argument akal tauhid sifat yang kami berikan, maka sudah jelas juga kebatilan teori ini.
"Niyaabah" (Suksesi) dzat dari sifat : Dalam pandangan ini dipilih dan datang dari sisi sebagian ahli kalam "Mu'tazilah", seperti Abu Ali dan Abu Hasyim Jabbaayi dan 'Ubbaad bin Sulaiman, Tuhan "faaqid" (tidak memiliki) sifat-sifat kesempurnaan, seperti ilmu, kuasa dan…, dan pada saat yang sama, dzat-Nya menjadi sumber keluarnya efek-efek itu sebagaimana keluar dari dzat yang tersifati dengan sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sebagai contoh, dzat Tuhan adalah faaqid suatu sifat, yakni ilmu; tetapi perbuatan yang keluar dari Tuhan, adalah perbuatan yang sebagaimana dari maujud-maujud berilmu.
Secara lahir sebab mendasar kecenderungan sekelompok dari kaum Mu'tazilah terhadap pandangan ini adalah kelompok ini melihat bahwa dari satu sisi pandangan tentang mengaksidennya sifat atas dzat menyalahi tauhid dan dari sisi lain, mereka tidak punya gambaran yang dalam tentang keidentikan dzat dengan sifat serta mereka menyangka bahwa tabiat setiap sifat mesti mengaksiden atas yang disifati.
Tentang kebatilan pandangan Mu'tazilah telah diutarakan bahwa pandangan "niyaabah" (suksesi) dzat dari sifat adalah memestikan bahwa dzat Tuhan faaqid kesempurnaan-kesempurnaan wujud, seperti ilmu, kuasa dan hidup; disamping itu mafhum "dzat yang faaqid ilmu, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan berilmu" adalah suatu mafhum yang ambiguitas.

Tauhid Sifat dalam Riwayat dan Hadits
Kita sudah mengetahui bahwa tauhid sifat yakni keyakinan tentang sifat dzat Tuhan satu sama lain dan dengan dzat Tuhan adalah identik dan mereka bereksistensi dalam eksistensi yang satu, meskipun dari tinjauan komprehensi (dan dalam dzihni) diantara mereka adalah berbeda. Berasaskan ini, sifat dzat Tuhan, sebagaimana dzat-nya, adalah azali, abadi dan tidak terbatas; dalam keadaan dimana tidak ada sama sekali bentuk perbedaan kewujudan diantara mereka.
Amirul mukminin Ali As dalam salah satu dari khutbah-khutbahnya, menyingkap dengan indah hakikat tauhid dzat. Imam as. pertama mengungkap tentang ketakterbatasan sifat Tuhan : "Tuhan yang sifat-Nya tak mampu terdefenisikan (terbatasi) dan tak dihasilkan (diadakan) suatu sifat".
Akan tetapi selanjutnya beliau menjelaskan bahwa kesempurnaan ikhlas dalam bab makrifat Tuhan dan tauhid adalah bahwasanya manusia menegasikan setiap bentuk sifat dari dzat Tuhan, meninggalkan penyifatan dzat suci-Nya : "Dan kesempurnaan tauhid Tuhan, adalah ikhlas untuk Nya dan kesempurnaan ikhlas, adalah menegasikan sifat dari-Nya, sebab setiap sifat memberi kesaksian bahwa ia adalah selain yang disifati dan setiap yang disifati memberi kesaksian bahwa ia berbeda dengan sifat.
Mungkin dalam tinjauan pertama akan menghadirkan pandangan seperti ini bahwa dua bagian ini tidak sesuai satu sama lain; sebab kemestian pertama adalah menetapkan sifat untuk Tuhan, sementara bagian kedua, setiap bentuk penyifatan pada Tuhan adalah dipandang tidak benar. Tetapi dengan perenungan yang lebih banyak, terutama secara spesifik dengan ketelitian yang seksama pada sebab imam As menjelaskan penegasian sifat, akan menjadi jelas bahwa tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Sifat yang imam as. negasikan, adalah sifat yang menambah dan mengaksiden pada dzat Tuhan; sebab sifat yang demikian ini adalah berbeda dengan yang disifatinya (sebab setiap sifat memberi kesaksian bahwa ia adalah selain yang disifati). Adapun penyifatan yang diterima baginya tidak ada masalah, adalah sifat yang identik dengan dzat Tuhan dan seperti dzat, adalah tidak terbatas dan tak terliputi.
Imam as. sesudah memandang bahwa penyifatan Tuhan dengan sifat-sifat aksidensi atas dzat adalah tidak benar, terhadap kemestian-kemestian pengetahuan penyifatan ini mengisyaratkan : "Oleh sebab itu barang siapa menyifatkan Tuhan, maka ia menggandingkan Dia (dengan sifatnya) dan siapa yang melakukan seperti itu, maka ia mendualitaskan Tuhan dan siapa yang berbuat seperti ini, maka ia membagi-bagi Dia serta siapa yang mengerjakan seperti ini, maka ia tidak mengenal-Nya" .
Dari sabda imam as. dapat dipetik demikian bahwa penyifatan Tuhan dengan sifat di luar dari dzat, meniscayakan kita menempatkan dzat Tuhan berdampingan sifat-sifat-Nya dan dari segi bahwa sifat-sifat ini secara kaidah kita pandang qadim dan azali, maka niscaya secara minimal kita mengakui terhadap keberadaan dua maujud yang qadim dan ini tidak lain kecuali adalah keyakinan terhadap dua Tuhan (dualitas). Multiplisitas wajibul wujud juga (sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebagian dalil tauhid) adalah meniscayakan terangkapnya dzat Tuhan dari bagian-bagian dan pada akhirnya, seseorang yang memandang Tuhan mempunyai rangkapan dan bagian-bagian, maka ia pada dasarnya tidak mengenal hakikat-Nya.
Dari imam Ridha as. juga telah diriwayatkan bahwa beliau berkata: "Tuhan secara azali adalah maha berilmu, maha kuasa, maha hidup, maha dahulu, maha mendengar dan maha melihat. (Perawi berkata:) saya berkata pada imam as. : "Wahai keturunan Rasul Tuhan ! Mereka yang sekelompok orang berkata: Tuhan secara azal dengan perantara ilmu adalah maha berilmu dan dengan perantara kuasa adalah maha kuasa serta dengan perantara hidup adalah maha hidup dan…. Imam as. menjawab: Setiap orang yang berkata dengan perkataan seperti ini dan ia bersikukuh dengannya, maka ia telah menerima tuhan-tuhan disamping Tuhan dan orang seperti ini tidak akan memperoleh manfaat sama sekali dari wilayah kami. Kemudian beliau berkata: "Tuhan secara azali dengan dzat-Nya adalah maha berilmu, maha kuasa, maha hidup, maha dahulu, maha mendengar dan maha melihat. Tuhan dari apa yang orang-orang musyrik dan ahli tasybih katakan adalah maha suci.
Apa yang secara lahiriah dari hadits ini digunakan, sesudah apa yang imam as. terangkan tentang keazalian sifat-sifat dzat Tuhan, seperti juga ilmu, kuasa dan hidup, perawi menanyakan tentang keyakinan suatu kelompok yang menyangka Tuhan dengan perantara ilmu yang berbeda dengan dzat-Nya, adalah maha berilmu dan dengan perantara kuasa yang di luar dari dzat-Nya, adalah maha kuasa dan….
Jawaban imam As kepada siperawi adalah memandang keyakinan ini meniscayakan syirik dan keyakinan terhadap tuhan-tuhan multiplisitas. Secara zahir dalil tentang masalah ini adalah bahwa keyakinan terhadap sifat-sifat azali yang mengaksiden atas dzat (pandangan Asyaa'irah) meniscayakan keyakinan terhadap beberapa maujud yang qadim dan azali dan natijahnya adalah keyakinan terhadap beberapa Tuhan. Kemudian imam as. menegaskan bahwa Tuhan karena dzat-Nya disifati dengan ilmu dan kuasa serta…yang dalam bentuk pengungkapan benarnya di atas, maksudnya adalah bahwa sifat tersebut adalah identik dzat itu sendiri dan jika seseorang berkeyakinan terhadap sifat di luar dari dzat, maka ia adalah syirik dan ahli tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).


Argumen Pembuktian Tauhid Perbuatan
Menurut tinjauan bahwa dengan ketelitian yang seksama terhadap sifat-sifat kesempurnaan Tuhan dari satu sisi dan perenungan terhadap hubungan alam eksistensi dengan penciptanya dari sisi lain, dengan mudah tauhid perbuatan dapat dibuktikan. Tauhid dalam perbuatan, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada dua klaim:
Tuhan adalah mustahil dalam melakukan perbuatan-Nya mempunyai sekutu dan rekan.
Tidak ada satupun dari maujud-maujud alam adalah pelaku mandiri; akan tetapi seluruh perbuatan dan karya mereka, pada tingkatan yang lebih atas, disandarkan kepada Tuhan.
Untuk membuktikan klaim pertama, adalah cukup dengan
memperhatikan pada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Dalam
pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa Tuhan, adalah wajibul wujud dan sempurna mutlak serta tidak ada jalan sama
sekali bagi kekurangan dan keterbatasan dalam dzat-Nya. Dari sisi lain, adalah badihi bahwa asumsi Tuhan butuh pada maujud lain (dalam melakukan pekerjaan-Nya), tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak-Nya; sebab akal menghukumi bahwa maujud yang dalam perbuatannya butuh kepada yang lain, dibandingkan terhadap maujud yang tidak butuh yang demikian ini, adalah kurang. Oleh sebab itu, keniscayaan asumsi kerekanan maujud lain dalam terjadinya perbuatan Tuhan, meniscayakan kekurangan dan keterbatasan dzat Tuhan dan ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak Tuhan.
Untuk membuktikan klaim kedua juga dengan perantara hubungan wujud-wujud mumkin dengan dzat wajibul wujud, dapat diungkapkan:
Sebagaimana sebelumnya sudah jelas bahwa Tuhan adalah penyebab seluruh sebab-sebab dan maujud-maujud lainnya, semuanya adalah akibat-Nya.
Berasaskan makna yang dalam tentang sebab, apa yang bergantung terhadap sebab, adalah totalitas eksistensi akibat dan dengan ungkapan yang lebih akurat, akibat, adalah identik dengan kebergantungan kepada sebab.
Perbuatan suatu wujud, pada dasarnya merupakan efek wujud tersebut dan merupakan hal-hal yang menyertainya dan bergantung padanya.
Dengan memperhatikan mukaddimah-mukaddimah tersebut di
atas maka menjadi jelaslah bahwa maujud-maujud mumkin, sebagaimana secara asas keeksistensian bergantung kepada wajibul wujud, dalam perbuatan-perbuatan mereka juga tidak mempunyai kemandirian; sebab perbuatan-perbuatan mereka bukanlah sesuatu kecuali efek-efek dzat mereka. Natijahnya, sebagaimana maujud-maujud kontingen di dalam asas keeksistensian adalah tidak mandiri dari wajibul wujud, maka dalam perbuatan-perbuatan dan efek-efeknya juga adalah bergantung dan tidak mandiri.
Dengan demikian telah terbukti bahwa pertama: Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya adalah tidak butuh dari bantuan dan rekanan, dan kedua: tidak ada satupun maujud selain Ia dalam merealisasikan pekerjaan dan menciptakan efek-efeknya adalah mandiri.

Tauhid dalam kepenciptaan
Salah satu bagian dari tauhid perbuatan, adalah tauhid dalam kepenciptaan; yakni keyakinan bahwa satu-satunya pencipta hakiki, hanyalah Tuhan dan seluruh eksistensi lain adalah makhluk-Nya serta kepenciptaan maujud-maujud lain tidak mempunyai sisi kemandirian, adalah mengikuti iradah dan kehendak Tuhan.
Tauhid dalam kepenciptaan menjadi tema yang jelas, dengan memikirkan tentang hubungan maujud-maujud mumkin dengan Tuhan wajibul wujud. Seluruh alam imkan merupakan akibat Tuhan dan tanpa perantara atau dengan perantara tercipta dari sisi Tuhan. Dari dimensi bahwa dalam alam wujud hanya ada satu wajibul wujud dimana Ia adalah sebab bagi seluruh sebab-sebab dan seluruh maujud-maujud merupakan akibat-Nya, maka hanya ada satu pencipta dan pemberi eksistensi dan maujud-maujud lainnya seluruhnya merupakan ciptaan dan makhluk-Nya.
Akan tetapi tauhid perbuatan sebagaimana yang kami jelaskan, tauhid dalam kepenciptaan tidak bertentangan dengan kenyataan ini bahwa sebagian makhluk-makhluk Tuhan menciptakan obyek-obyek khusus; sebab perkara ini dalam vertikal kepenciptaan Tuhan dan merupakan manifestasi dari itu serta dalam wilayah kehendak Tuhan dan dengan izin-Nya itu terjadi dan sama sekali tidak memiliki sisi kemandirian; sebab itu makna dari tauhid dalam kepenciptaan tidak lebih dari sesuatu kecuali penafian kepenciptaan mandiri selain dari Tuhan.

Tauhid dalam Rububiyyah
Satu lagi dari bagian-bagian tauhid perbuatan, adalah tauhid dalam "rubuubiyyah" (pengaturan). Sebelum tauhid ini dijelaskan, sebaiknya kita memikirkan makna kata "rabb" terlebih dahulu.
Terkadang kata rabb dimaknakan dengan makna murabbi dan itu diterjemahkan dengan Tuhan. Kendatipun makna rabb dengan makna murabbi (pendidik) adalah dekat, tetapi dua kata ini secara akurat tidaklah satu. Dalam salah satu dari penggunaan-penggunaan kata ini, rabb dimutlakkan atas seseorang yang mempunyai ikhtiyar terhadap seseorang atau suatu obyek, dalam bentuk setiap kali ia menghendaki, ia dapat campur tangan mengatur dan mengelola perkara-perkara orang itu atau obyek itu.
Akan tetapi dengan memikirkan makna di atas menjadi jelaslah bahwa rububiyyah merupakan keniscayaan dari kepemilikan hakiki; sebab jika suatu maujud bukan pemilik hakiki dari maujud lain, tidak akan dapat secara mandiri dan dalam bentuk mutlak mengatur perkara-perkaranya. Dengan demikian rabb dimutlakkan atas pemilikan yang mengatur dan mengarahkan perkara-perkara dimilikinya dan di posisi ia melepaskan apa yang dimilikinya dan menyerahkan pada kondisinya sendiri, ia campur tangan terhadap keadaan-keadaannya dan mengatur urusan-urusannya.
Dengan meninjau makna rabb, maka tauhid dalam rububiyyah bermakna bahwa hanya Tuhan pemilik hakiki seluruh eksistensi yang berhak mengatur urusan-urusan seluruh maujud alam dan dalam bentuk mandiri serta tanpa butuh pada rekanan atau izin maujud lain, mengatur urusan-urusan eksistensi dan mengelolanya, dan jika salah satu dari makhluk-makhluk-Nya, dalam wilayah yang terbatas, melakukan kepengelolaan dan kepengaturan urusan-urusan maujud lain, pekerjaan ia ini adalah mandiri dan bergantung kepada izin, iradah dan kehendak Tuhan.

Pembuktian Tauhid Rububiah
Sekarang setelah makna tauhid rububiah sudah jelas, gilirannya kami mengutarakan dalil akal tentangnya, dan di antara dalil-dalil yang bermacam-macam yang dikonstruksi bagi tauhid rububiah, kami cukupkan hanya menyebutkan dua dalil:
Dalil pertama: Rububiyyah adalah keniscayaan dari pemilikan hakiki dan ketika suatu maujud bukanlah pemilik hakiki maujud lain, tidak akan bisa mengatur urusan-urusannya dalam bentuk mutlak dan mandiri. Dari sisi lain, kepemilikan hakiki, adalah dari aspek kepenciptaan; sebab eksistensi makhluk dan seluruh aspek-aspek eksistensinya adalah di tangan khalik. Oleh karena itu, rububiyyah (pengaturan) adalah keniscayaan kepenciptaan dan sebab pencipta tunggal seluruh eksistensi adalah Tuhan, maka Rabb (pengatur) tanpa tandingan alam juga adalah Tuhan dan tidak satupun maujud lain yang memiliki pengaturan mandiri yang sejajar dengan pengaturan Tuhan.
Dalil kedua: Kami sudah ungkapkan bahwa rububiyyah bermakna pengelolaan perkara sesuatu dan pengaturan terhadapnya, berasaskan ini, diasumsikan keberadaan Rabb-rabb yang jamak dalam alam eksistensi dimana satu sama lain sejajar dan dalam bentuk mandiri melakukan pengelolaan dan pengaturan perkara-perkaranya, maka meniscayakan secara taba' campur tangan dan kepengelolaan masing-masing dari mereka, mendapatkan kekuasaan pada sistem khusus dalam alam. Dari sisi lain, kenyataan yang disaksikan dan tidak mungkin diingkari bahwasanya alam eksistensi diatur di bawah kekuasaan satu sistem dan sistemik serta perkara-perkara alam bergerak ke arah keteraturan dan keselarasan.
Dengan demikian, kesatuan sistem pengelolaan alam dan pengaturan harmoni serta keselarasan bagian-bagiannya yang bermacam-macam, menunjukkan atas ketunggalan pengelola dan pengatur serta melukiskan bahwasanya Rabb hakiki alam, adalah satu dan tunggal.

Tauhid Perbuatan dalam al-Qur'an dan Sunnah
Sebagaimana yang sudah kami isyaratkan sebelumnya, cabang-cabang yang beragam dari syirik perbuatan, secara khusus syirik rububiyyah, dalam perbandingannya dengan bagian-bagian lain syirik nazhari, mempunyai penyebaran yang lebih banyak di antara kaum-kaum dan bangsa-bangsa, dan dari sisi ini maka adalah tabii jika al-Qur'an lebih menegaskan pada tauhid perbuatan. Riwayat-riwayat yang beragam juga menjelaskan cabang yang bermacam-macam dari tauhid perbuatan. Pada bagian ini, kami mengungkapkan secara singkat observasi sebagian dari ayat-ayat ini dan di samping itu, kami mengisyaratkan sebagian juga riwayat-riwayat.

Tauhid Kepenciptaan dalam Al-Qur'an
Prinsip ini bahwasanya Tuhan adalah khalik dan pencipta segala sesuatu dan selain-NYa semua makhluk dan ciptaan-Nya, dijelaskan dalam al-Qur'an dalam ayat-ayat yang beragam. Sebagai contoh kita perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
"Katakanlah: Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia satu lagi qahhaar"
"Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia atas segala sesuatu adalah wakiil"

"Demikianlah Allah adalah Rabb kamu pencipta segala sesuatu, tidak ada Tuhan kecuali Dia"
Sebagaimana yang kita saksikan, dalam ayat-ayat ini Tuhan diperkenalkan sebagai pencipta segala sesuatu. Dengan memperhatikan pada pemahaman yang sangat luas terhadap "sesuatu", ayat-ayat ini menjelaskan keluasan yang tak terbatas kepenciptaan Tuhan; yakni selain Tuhan tidak ada sama sekali sesuatu yang dapat dikonsepsi, yang memiliki partisipasi dari eksistensi, kecuali bahwasanya penciptanya adalah Tuhan yang Maha Tunggal. Hakikat ini, dalam sebagian ayat-ayat dijelaskan dalam bentuk pertanyaan pengingkaran: "Apakah selain Tuhan terdapat pencipta lain yang memberikan rezki pada kamu dari langit dan bumi?" Ayat ini, bertanya dari mukhaathabnya dalam bentuk pertanyaan pengingkaran: Apakah ada pencipta selain Tuhan? Dari sudut tinjauan al-Qur'an, jawaban dari pertanyaan ini adalah negatif dan hanya Tuhan saja yang pencipta hakiki.
Dalam bentuk penafsiran apapun, prinsip universal kepenciptaan Tuhan, adalah asas yang pasti dan yakin dari al-Qur'an, dimana natijah dari itu tidak lain kecuali tauhid dalam kepenciptaan.
Poin lain yang diungkapkan al-Qur'an adalah bahwa pada umumnya kaum musyrik Arab pada masa kehadiran Islam, memandang Allah sebagai satu-satunya pencipta eksistensi dan problem mereka pada sisi kesyirikan terhadap rububiyyah. Sebagai contoh, kita membaca dalam surah al-Ankabut: "Dan jika kamu bertanya pada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka mengatakan: Allah" (Q.S: al-Ankabut: 61).
Ungkapan al-Qur'an ini, yang juga digunakan dalam ayat-ayat lain, menceritakan bahwa kaum musyrik Arab, apakah dikarenakan fitrahnya dan apakah dikarenakan pengaruh pengajaran yang lestari dari Nabi-nabi terdahulu, mengakui hakikat ini, bahwa berhala-berhala mereka dan maujud-maujud lain yang mereka sembah, bukanlah pencipta eksistensi, ia dan seluruh eksistensi, adalah makhluk dan ciptaan Allah. Akan tetapi problematika mendasar mereka adalah bahwa tidak mempunyai perhatian terhadap kemestian dari kepenciptaan dan kepengaturan serta tidak berpikir terhadap hakikat ini, bahwa jika pencipta seluruh eksistensi adalah Tuhan yang tunggal, maka juga harus satu pengelola hakiki wujud dan memisahkan kepenciptaan dari kepengelolaan adalah sesuatu yang tidak benar.
Al-Qur'an di samping menegaskan tauhid dalam kepenciptaan, juga menjelaskan secara metodologik kenyataan bahwasanya kepenciptaan maujud-maujud lain terjadi hanya dalam kevertikalan kepenciptaan Tuhan dan hanya dalam liputan kehendak dan iradah-Nya. Sebagai contoh kita menyaksikan ayat yang berkenaan mukjizat Nabi Isa As: "Dan ketika kamu membuat dari tanah (sesuatu) dalam bentuk burung dengan izin-Ku, kemudian kamu tiup padanya dan dengan izin-Ku menjadilah ia burung"
Ayat ini merupakan penjelasan wahyu Tuhan kepada Nabi Isa As bahwa di samping Tuhan, hal itu disebutkan juga sebagai salah satu dari mukjizat-mukjizat Nabi Isa As: yakni ia membuat dari tanah seekor burung dan kemudian meniupnya dan pada akhirnya, patung tak bernyawa itu menemukan hidup dan menjelma dalam bentuk seekor burung nyata. Sebagaimana dapat diperhatikan, dalam ayat ini lafazh "dengan izin-Ku" diulang secara dua kali dan menegaskan atas makna ini bahwa proses penciptaan burung dari tanah, kendatipun dari satu sisi dinisbahkan kepada Nabi Isa As, akan tetapi ia dalam penciptaannya bukanlah pelaku mandiri dan perbuatan ini dapat teraplikasikan dengan izin Tuhan serta di bawah kehendak-Nya. Dengan demikian, al-Qur'an dengan bentuk panduan menjelaskan bahwa kendatipun mungkin Tuhan barasaskan hikmah-Nya, memberikan kepada sebagian makhluk-makhluk-Nya kemampuan penciptaan, akan tetapi kepenciptaan mereka tidaklah dalam garis derajat kepenciptaan-Nya dan mandiri dari-Nya, maka dari itu tidak terdapat pertentangan dengan tauhid dalam kepenciptaan.

Tauhid Rububiah dalam Al-Qur'an
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah diungkapkan makna tauhid rububiah adalah bahwa satu-satunya pengelola, pemberi sistem dan pengatur hakiki alam eksistensi, adalah Tuhan dan kepengelolaan maujud-maujad lain hanya terjadi dalam bayangan kepengelolaan Tuhan. Di sisi lain makna yang bertolak belakang dari itu, yakni syirik dalam rububiah adalah bahwasa manusia memandang terdapat maujud lain selain Tuhan, yang dalam bentuk mandiri, mempunyai kondisi kepengelolaan, memperbaiki dan mengatur perkara-perkara sebagian dari alam eksistensi.
Dengan meninjau penyebaran luas syirik dalam rububiah, maka al-Qur'an memberikan penekanan penting dan perhatian banyak terhadap tauhid rububiah.

Urgensi tauhid Rububiah dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an karim dalam posisi menegaskan tauhid rububiah, memperkenalkan Tuhan sebagai "Rabb" seluruh eksistensi. Sifat "Rabb al-âlamîn" puluhan kali dalam al-Qur'an digunakan untuk Tuhan dan mengisahkan tentang realitas ini, bahwa alam-alam eksistensi yang beragam, non materi dan materi, jisim-jisim, tumbuhan-tumbuhan, hewan-hewan dan manusia, seluruhnya berada di bawah kepengelolaan dan kepengaturan-Nya.
Tuhan memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memperkenalkan Ia sebagai "Rabb" langit dan bumi: "Katakanlah siapakah Rabb langit dan bumi, katakanlah Allah"
Tentu saja kepengelolaan Tuhan tidak hanya tekhususkan pada langit dan bumi; akan tetapi meliputi seluruh maujud-maujud: "Katakanlah: apakah selain dari Allah aku akan pilih sebagai Tuhan, padahal Dia adalah Rabb segala sesuatu"
Terkadang juga menegaskan pada poin ini bahwa Tuhan yang tunggal adalah pengelola dan pengatur seluruh manusia dan tidak satupun manusia yang keluar dari wilayah pengaturan-Nya: "Apakah kamu menyembah (berhala) ba'al dan meninggalkan sebaik-baiknya pencipta. Allah adalah Rabb kamu dan Rabb bapak-bapak kamu yang awal-awal"
Sebagaimana yang telihat, dalam pandangan al-Qur'ani tidak ada sedikitpun tempat kepengelolaan mandiri bagi maujud-maujud lain.

Argumen Para Nabi As atas Tauhid Rububiah
Dengan memperhatikan penyebaran dari keyakinan kepada rabb-rabb (tuhan-tuhan) yang beragam, salah satu yang menjadi fokus dan inti argumentasi para Nabi dengan kaum musyrik, adalah istidlal atas tauhid rububiah. Sebagai contoh, al-Qur'an menukilkan bahwasanya Nabi Yusuf As dalam mendakwahi dua orang yang bersamanya dalam penjara, mengatakan: "Apakah rabb-rabb yang terpisah-pisah lebih baik ataukah Allah yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa?
Al-Qur'an menukil dalil yang sangat banyak dari bapak tauhid Nabi Ibrahim As dimana bagian paling urgennya adalah tentang tauhid rububiah. Sebagai contoh, nukilan al-Qur'an mengenai kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan Raja kafir (yang menurut riwayat namanya adalah Namrudz):
"Apakah tidak kamu lihat (ketahui) tentang orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya yang Allah telah memberikan kepadanya kerajaan? Ketika Ibrahim berkata: Tuhanku yang menghidupkan dan mematikan, ia berkata: aku menghidupkan dan mematikan, Ibrahim berkata: sesungguhnya Allah mendatangkan matahari dari Timur maka datangkanlah ia dari Barat, maka yang kafir terkejut dan ternganga, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang zhalim" (Q.S: al-Baqarah: 258)
Dari kandungan dialog di atas menjadi jelas bahwa Namrudz mempunyai pandangan jika Allah itu adalah Tuhannya tuhan-tuhan dan di samping Allah ia juga berkeyakinan terhadap keberadaan tuhan-tuhan lain serta ia juga berpandangan untuk dirinya kedudukan rububiah. Nabi Ibrahim As dalam membuktikan bahwa Namrud tidak mempunyai saham dalam pengelolaan alam, mengisyaratkan salah satu dimensi dari dimensi-dimensi rububiah Tuhan dan berkata: Tuhanku (yang merupakan satu-satunya pengatur hakiki) mengatur alam ini dengan cara menghidupkan dan mematikan sebagian maujud-maujud. Adalah jelas bahwa maksud Nabi Ibrahim dari menyebutkan dua sifat ini, adalah makna hakiki dari keduanya; akan tetapi Namrud melakukan aksi penipuan dengan memerintahkan di antara narapidana-narapidananya, seorang dibebaskan dan seorang lainnya dibunuh mati, dan berasaskan ini dengan penuh kesombongan memaklumatkan bahwa ia adalah yang mematikan dan menghidupkan.
Kendatipun Namrudz di sini melakukan fazilogik, tetapi pada hakikatnya wadah untuk ia melakukan hal itu tidak datang dari sisi Nabi Ibrahim As, oleh karena itu Nabi Ibrahim As lebih memilih mengungkapkan dimensi lain dari dimensi rububiah Tuhan yang tidak mempunyai kemungkinan melakukan fazilogik terhadapnya.
Dengan demikian, Nabi Ibrahim As mengisyaratkan pengaturan gerak matahari dan berkata: "Tuhan menerbitkan Matahari dari ufuk Timur, maka dari itu jika kamu pengatur alam harus mampu menerbitkan matahari dari ufuk Barat dan di sini Namrud tertegun serta diam tanpa jawaban dalam menghadapi dalil tauhid Nabi Ibrahim As.
Walhasil, secara lahiriah pondasi expostulasi Nabi Ibrahim As adalah ini, bahwa asumsi rububiah takwini suatu maujud selain Tuhan, memestikan bahwa maujud tersebut dapat campur tangan dalam sistem alam semesta dan ia berasaskan iradah dan kehendaknya dapat merubah sistem yang ada; akan tetapi tidak satupun dari tuhan-tuhan dusta yang mempunyai kekuatan seperti itu.
Al-Qur'an pada tempat lain menukil argumen Nabi Ibrahim As dalam berhadapan dengan orang-orang yang berpandangan terhadapa kerububiahan benda-benda langit. Dalam argumentasi ini, Nabi Ibrahim As sesuai dengan lahiriah dan untuk menarik perhatian kaum musyrik, menampakkan dirinya seakidah dengan mereka, kemudian memberitahukan kepada mereka ketidak benaran mazhabnya dengan menunjukkan burhan yang kokoh kepada mereka:


"Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dengan merenungi kandungan ayat tersebut di atas, dapat diperoleh poin yang menjadi perhatian dan penuh ibrah, seperti kalimat: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam" dapat diperoleh dua poin penting: pertama, maujud yang tenggelam tidak mungkin adalah rabb; sebab rububiah berkisar atas poros hubungan takwini dan berkesinambungan antara rabb dan marbub (pengatur dan diatur); oleh karena itu tidak mungkin hubungan ini terputus, meskipun hanya sedetik serta tidak mungkin dinafikan kekuasaan rabb yang meliputi marbûb, kendatipun sedikit; sebab keniscayaan rububiah hakiki adalah dengan terputusnya hubungan tersebut, maka sisi dan dimensi marbûb akan menjadi kacau balau serta tatatertib eksistensinya akan menjadi rusak berantakan. Kedua, Nabi Ibrahim As pada kedudukan menafikan secara gamblang rububiah bintang-bintang, berkata: "Saya tidak menyukai yang tenggelam". Ungkapan ini menjelaskan hubungan yang dalam antara kecintaan dengan rububiah dan uluhiyah. Mungkin saja Nabi Ibrahim As hendak menjelaskan kenyataan ini, bahwa Rabb hakiki yang mempunyai kelayakan uluhiyyah, dalam bentuk takwini menarik kecintaan manusia kepada-Nya. Oleh karena itu, rububiah hakiki senantiasa bersama dengan kecintaan dan dari sisi ini jika hati manusia tidak tertarik ke arah suatu maujud, dimana maujud itu bukan rabb hakiki, dikarenakan tidak mempunyai kelayakan untuk disembah dan diibadahi.

Argumen Tauhid Rububiah
Prinsip tauhid (minimal sebagian dari tingkatan-tingkatannya) merupakan sesuatu yang fitri. Tapi berkenaan dengan kefitriannya tidak menyalahi jika dikonstruksi argument tentangnya. Berdasarkan ini, terdapat ayat-ayat dalam al-Qur'an yang kandungannya dapat dihitung sebagai istidlal atas tauhid. Salah satu dari ayat-ayat itu yang biasanya dipandang sebagai dalil atas tauhid rububiah, ayat 22 surah al-Anbiya:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.(Q.S: al-Anbiya:22)
Perlu kami sebutkan bahwa di antara para peneliti terjadi perbedaan pandangan terhadap ayat di atas tentang bagian tauhid yang mana yang ditetapkannya. Berdasarkan satu pandangan, dengan memperhatikan bahwa ayat ini menafikan anggapan terdapat banyak âlihah, maka natijah dari itu menetapkan tauhid ulûhi. Dari sisi lain, suatu kelompok memandang kandungan ayat ini dalil atas tauhid rububiah dan sebagian lainnya memandangnya masuk pada kerangka burhan tamânu'. Dengan memperhatikan keberadaan aspek saling melazimkan antara bagian-bagian tauhid yang bermacam-macam dari satu sisi dan antara mafhum-mafhum ilâh dan rabb dari sisi lain, perbedaan di atas tidak memiliki natijah penting dan kami di sini lebih cenderung memilih pandangan kedua; sebab kami melihat kandungan istidlalnya lebih sesuai dengan tauhid rububiah.
Petikan burhan dari kandungan ayat tersebut adalah: jika alam eksistensi memiliki lebih dari satu rabb, maka setiap cerminan sistemnya akan saling bertabrakan dan menyababkan kehancuran. Akan tetapi kita menyaksikan bahwa alam menjaga keserasian dan keutuhannya, ia memiliki satu sistem yang utuh dan kokoh. Oleh karena itu, alam hanya memiliki satu rabb.
Dalam menjelaskan istidlal ini dapat dikatakan bahwa asumsi keberadaan dua rabb yang mandiri bagi alam, akan memestikan bahwa kita mempunyai dua sistem yang saling mandiri satu sama lain yang mana masing-masing dari dua rabb yang diasumsikan dapat mempengaruhi alam tanpa izin yang lainnya dan memberi aturan terhadapnya. Dalam bentuk ini maka akan meniscayakan dua sistem yang berbeda yang berkuasa atas alam eksistensi dan masing-masing dua rabb yang diasumsikan akan mengatur dan mengelola alam sesuai dengan keinginan dan kehendaknya, dan hal ini tidak akan menghadirkan sesuatu kecuali kerusakan dan kehancuran alam. Dengan kata lain, banyaknya pengelola secara dharuri akan menghadirkan perbedaan di dalam kepengelolaan dan perbedaan di dalam kepengelolaan tidak sesuai dengan keserasian, keharmonisan dan keutuhan bagian-bagian eksistensi.
Oleh karena itu, keteraturan alam dan berkuasanya undang-undang yang tetap serta sistem yang satu, menandakan bahwa alam diatur dan dikelola oleh satu pengatur, dan ini tidak lain adalah prinsip tauhid dalam rububiah.
Terdapat dalam riwayat bahwa Hisyam ibnu Hikam bertanya kepada imam Shadiq As: apa dalil keesaan Tuhan? Imam dalam menjawab pertanyaan tersebut berkata: keutuhan dan kesinambungan pengelolaan dan sempurnanya ciptaan (menandakan ketunggalan Tuhan), sebagaimana Tuhan berfirman: sekiranya di langit dan bumi terdapat tuhan-tuhan kecuali Allah, maka niscaya keduanya pastilah rusak.
Berdasarkan riwayat lain, imam Shadiq As dalam menjawab pertanyaan seorang kafir berkata: ketika kita menyaksikan keseimbangan dan keteraturan ciptaan, bintang-bintang yang bergerak (pada porosnya masing-masing) dan pergantian siang dan malam serta bergilirnya matahari dan bulan (mengikuti program dan undang-undang yang tetap), kebenaran pengelolaan dan keutuhan perkara-perkara itu menandakan bahwasanya pengatur mereka adalah satu.

Pengelolaan Makhluk dengan Izin Khalik
Sebagaimana telah kita ungkapkan sebelumnya, tauhid perbuatan tidaklah bermakna menegasikan secara totalitas perbuatan-perbuatan makhluk Tuhan; akan tetapi dengan makna bahwa perbuatan setiap maujud berada dalam vertikal perbuatan Tuhan dan dengan izin serta kehendak-Nya. Berasaskan inilah maka al-Qur'an terkadang menisbahkan pengelolaan kepada maujud-maujud lain, misalnya kepada malaikat:" Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)"
Tapi pengaturan ini adalah jelas tidak mandiri dan tidak sejajar dengan pengaturan Tuhan; bahkan merupakan pancaran dari pengaturan Tuhan. Dengan demikian, al-Qur'an menisbahkan dimensi-dimensi rububiah Tuhan terhadap makhluk-makhluk-Nya dan pada saat yang sama memandang hal itu sebagai suatu dimensi dari dimensi-dimensi pengelolaan Tuhan. Sebagai contoh, dari satu sisi memberi rezki dipandang sebagai dimensi perbuatan Tuhan:
"Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)".
Dan dari sisi lain, pengadaan rezki (makanan dan pakaian) bagi ibu-ibu menyusui, dihitung sebagai tanggung jawab yang harus dipikul oleh suami:
"Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf."
Tauhid Dalam Penetapan Hukum dan Kekuasaan
Salah satu yang merupakan bagian dari tauhid perbuatan, adalah tauhid dalam penetapan hukum dan kekuasaan. Dari satu sisi, bagian tauhid ini dapat dihitung sebagai cabang dari tauhid rububiah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia untuk mengatur hubungannya dengan yang lain, butuh pada aturan-aturan dan undang-undang khusus. Sementara penetapan undang-undang harus selaras dan singkron dengan kondisi yang menetapkan undang-undang.
Tauhid dalam penetapan undang-undang, yakni keyakinan terhadap satu-satunya yang layak menetapkan undang-undang hanyalah Tuhan yang Maha Esa, dan seorangpun tidak ada yang boleh menetapkan aturan-aturan dalam bentuk mandiri dan berada dalam kesejajaran penetapan hukum Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, penetapan hukum dan pembuatan aturan-aturan serta taklif, pertama dan secara dzat merupakan maqam Tuhan, sementara penetapan undang-undang rujukan lainnya hanya dalam bentuk yang benar jika tidak berada dalam kesejajaran aturan-aturan dan undang-undang Tuhan serta tidak menyalahinya. Di sisi lain, kekuasaan juga yang bermakna berkuasa atas jiwa dan harta manusia serta mengatur perkara-perkara masyarakat, merupakan maqam Tuhan dan satu-satunya penguasa mandiri dan hakiki adalah Dia, adapun kekuasaan yang lain hanya bisa mendapatkan kebenaran jika dalam bayangan izin Tuhan.
Oleh karena itu, dalam pandangan dunia tauhid Islam, yang berhak menetapkan undang-undang serta hukum dan juga yang berhak merealisasikan undang-undang (kekuasaan dan pemerintahan) hanya Tuhan, dan marja (sumber rujukan) lainnya tidak mempunyai kelayakan kedudukan seperti ini dalam kesejajaran Tuhan. Tentu saja tauhid tasyrî'i tidak bermakna bahwa manusia tidak mempunyai hak menetapkan undang-undang yang menjadi kebutuhannya dalam wilayah dimensi yang berubah dalam masyarakat; akan tetapi penetapan undang-undang oleh manusia dalam wilayah ini bisa tidak bermasalah, dengan syarat mesti sesuai dengan undang-undang tetap dan universal syariat. Dari sisi lain, dari aspek realitas kekuasaan atau pemerintahan dalam masyarakat manusia, kebutuhan kepada saling interaksi dan saling berhubungan di antara person-person masyarakat, meniscayakan sunnah Ilahi berlaku bahwa person-person tertentu, dikarenakan kekhususan-kekhususan mereka maka dengan izin Tuhan mereka dapat berpijak pada pemerintahan dan mengelola perkara-perkara masyarakat serta mengarahkannya pada pengaplikasian undang-undang Tuhan.

Landasan Rasional Tauhid dalam Tasyrî' dan Pemerintahan
Untuk membuktikan cabang dari tauhid ini, dapat digunakan beberapa argumen di bawah ini:
Tidak diragukan bahwa pembuatan undang-undang dan pemerintahan serta kepemimpinan masyarakat merupakan sebuah bentuk pengelolaan dan pengaturan perkara-perkara masyarakat. Dan berasaskan tauhid rububiah, pengelola dan pengatur hakiki alam adalah Tuhan. Maka itu, pengelolaan perkara-perkara manusia, apakah itu dalam dimensi pembuatan undang-undang ataukah dalam dimensi pemerintahan, merupakan hak-Nya dan yang lainnya dikarenakan tidak memiliki rububiah dan pengaturan takwini, tidak dapat disandarkan kepada mereka secara mandiri pembuatan undang-undang dan pemerintahan.
Pembuatan undang-undang senantiasa disertai dengan suatu bentuk keharusan dan keterbatasan terhadap ikhtiar orang-orang yang undang-undang berkenaan tentang mereka, dan pemerintahan juga tidak dapat terealisasi tanpa campur tangan secara praktis dalam masalah-masalah masyarakat dan penguasaan atas jiwa dan harta mereka. Oleh karena itu, pembuatan undang-undang dan pemerintahan, hanya layak bagi siapa yang memiliki suatu bentuk wilayah dan kepemimpinan hakiki atas yang lainnya. Dan wilayah ini, dalam bentuk hakiki, hanya dapat tercipta jika wâlî adalah pemilik hakiki muwallâ 'alaih (yang wali mempunyai wilayah atasnya). Dari sisi lain, sudah jelas bahwa hanya Tuhanlah sebagai pemilik hakiki alam, di antaranya adalah manusia, dan tidak satupun manusia yang sacara utama dan dzat adalah pemilik yang lainnya. Oleh karena itu, hanya Tuhan yang memiliki hak pembuatan undang-undang (tasyrii') dan pemerintahan serta yang lain tidak memiliki hak dan kelayakan seperti ini; kecuali orang-orang yang Tuhan berikan izin kepada mereka.
Tidak diragukan bahwa orang yang layak mengadakan undang-undang adalah orang yang dalam pembuatan undang-undang, menjaga kepentingan serta maslahat masyarakat dalam bentuk kemungkinannya yang paling baik, karena itu ia haruslah memiliki pengetahuan yang paling sempurna tentang hakikat manusia dan jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Sudah jelas bahwa pengetahuan dan pengenalan sempurna seperti ini hanya dimiliki Allah Swt yang merupakan wujud âlim mutlak dan tidak satupun maujud lain yang mengenal manusia seperti pengenalan Khalik dia terhadapnya. Oleh karena itu, satu-satunya maujud yang layak menentukan undang-undang dan berhak menjadikan undang-undang tersebut sebagai aturan beramal manusia, hanyalah Tuhan. Akan tetapi matlab ini tidak bertentangan dengan masalah Tuhan memberikan kepada manusia hak untuk mengadakan sebagian undang-undang yang menjadi kebutuhannya dalam areal 'urfi dan 'uqalâi, sehingga berasaskan itu, terancang aturan yang berkenaan dengan hal-hal yang cocok dengan masyarakat yang berhubungan dengan kehidupan diniawi; akan tetapi undang-undang yang diadakan di areal ini mestilah sesuai dengan undang-undang agama.



Tauhid dalam Tasyrî' dan Pemerintahan dari Sudut Pandang Al-Qur'an
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, salah satu dari bagian tauhid afâli adalah tauhid dalam tasyrî' dan pemerintahan; yakni hanya Tuhan satu-satunya yang layak menetapkan undang-undang untuk mengatur kehidupan individual dan sosial manusia dan menentukan hak-hak serta tanggung jawab masyarakat, dan hanya Tuhan yang beratanggung jawab terhadap kepemimpinan dan kepengaturan perkara-perkara masyarakat serta menguasai jiwa dan harta mereka.
Sekarang harus kita lihat apa pandangan al-Qur'an dan riwayat tentang bagian dari tauhid ini. Sebelum dipaparkan pembahasan ini lebih jauh, perlu kiranya diperhatikan poin ini, bahwa kata tasyrî' (masdar dari bab taf'îl), yang kita gunakan dengan pengertian pembuatan undang-undang, pada dasarnya tidak digunakan dalam al-Qur'an, dan yang digunakan hanya masdar tsulâtsi mujarradnya dalam satu ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, untuk pembahasan sekarang kita harus merujuk kepada al-Qur'an yang di dalamnya dibicarakan tentang hukum, pemerintahan, dan wilayah.
Kata hukum, dalam tinjauan asli lugawi adalah bermakna mencegah dan melarang. Derivasi kata ini kemudian digunakan dalam makna-makna penetapan hukum, pemutusan hukum, penghukuman, dan penanganan perkara-perkara masyarakat, dan secara zahir alasan perluasan ini dikarenakan makna mencegah tersebut tersembunyi dalam masing-masing dari tiga makna terakhir ini (sebagai misal, qâdhi (hakim) dengan keputusan hukumnya, mencegah orang-orang dari penentangan hukum atau melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi hukum).
Berasaskan ini, hukum mempunyai makna umum, dan dengan memperhatikan pada qarinah-qarinah yang ada dalam kalam pembicaraan maka ia dapat menunjukkan kepada makna-makna yang telah disebutkan. Kata wali juga mendapatkan derivasi dari masdar wilâyat yang bermakna kepemimpinan dan teman.
Dalam sebagian ayat-ayat al-Qur'an dijelaskan secara jelas bahwa maqam hukum hanya datang dari Tuhan: "Tidak ada hukum kecuali bagi Tuhan".
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan."
Sebagaimana yang kita saksikan, masing-masing dari dua ayat yang sudah disebutkan menunjukkan penegasan pembatasan hukum hanya pada Tuhan. Makna ini dijelaskan pada ayat pertama dengan cara pengecualian sesudah penafian dan pada ayat kedua dengan mendahulukan "lahû" atas "al-hukmu" dalam kata "lahû al-hukmu" dan juga keumuman dan kemutlakan kata "hukm". Dengan memperhatikan makna umum "hukm" dari ayat ini maka dipahami bahwa Tuhan hanya satu-satunya maujud yang memiliki kelayakan secara asalah dan mandiri mengadakan undang-undang bagi masyarakat manusia dan menghakimi di antara hamba-hamba-Nya serta menangani perkara-perkara mereka. Bahwa terdapat orang-orang sebagai wakil Tuhan dan dengan izin-Nya memegang pemerintahan dan memimpin masyarakat, hal ini tentu saja tidak bertentangan dengan tauhid.
Masalah yang berhubungan dengan ini terdapat dalam kandungan ayat-ayat al-Qur'an pada surah al-Maidah. Al-Qur'an, dalam ayat-ayat 44, 45, dan 47 surah ini, sesudah menegaskan kemestian bagi ahlul kitab mengikuti hukum-hukum Tuhan yang terdapat dalam kitab Taurat dan kitab Injil, mengungkapkan bahwa mereka yang menghukumi manusia menyalahi apa yang Allah telah turunkan, mereka itu digolongkan dan disebut kafir, zalim, dan fasik:
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."
Kendatipun ungkapan pertama ditujukan untuk orang-orang yahudi dan ungkapan ketiga ditujukan untuk orang-orang Kristen, akan tetapi pembicaraan ayat adalah mutlak dan tidak mengkhususkan kepada kaum tertentu. Oleh karena itu, ayat yang menjadi bahan pembahasan, menyifatkan dalam bentuk mutlak tiga sifat, yaitu kafir, zalim , dan fasik kepada orang-orang yang mengeluarkan hukum bukan dengan hukum Tuhan dan mengadili serta memutuskan berasaskan mizan bukan dengan mizan Tuhan. Dari sini menjadi jelaslah bahwa menghukumi dan memutuskan dengan pengertian umumnya, pertama dan secara dzat adalah sumbernya dari Tuhan, karena itu tidak boleh seseorang secara bebas mengeluarkan suatu hukum yang berbeda dan bertentangan dengan hukum-hukum Tuhan.
Dalam sebagian ayat-ayat al-Qur'an juga disebutkan bahwa hak wilâyah dan kepemimpinan termasuk dari hak-hak khusus Tuhan. Sebagai contoh kita dapat lihat dalam ayat 9 surah asy-Syûrâ: "Atau mereka mengambil pemimpin-pemimpin selain Dia? Padahal Allah , Dialah pemimpin (yang sebenar-benarnya)."
Ungkapan " "فالله هو الوليsecara jelas menunjukkan atas pembatasan wilayah hakiki hanya pada Tuhan. Akan tetapi sebagaimana bagian-bagian tauhid af'âli lainnya, tauhid dalam pemerintahan tidak bertentangan dengan perkara bahwa Tuhan melantik hamba-hamba pilihan-Nya sebagai hâkim dan wali masyarakat serta memberikan kedudukan pemerintahan kepadanya. Sebagai contoh, al-Qur'an memberitakan penganugerahan maqam ini kepada nabi Dawud As dengan ungkapan seperti ini: "Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah".
Kesimpulannya bahwa dalam pandangan tauhid Islam, pemerintahan dan wilayah merupakan maqam Tuhan; akan tetapi disebabkan pengelolaan perkara-perkara kemasyarakatan dan perealisasian undang-undang butuh kepada terjadinya hubungan materi dan tabii dengan masyarakat serta untuk terjadinya hubungan seperti ini tidak mungkin tercipta langsung dari sisi Tuhan, maka harus senantiasa ada sekelompok orang dari masyarakat yang mendirikan pemerintahan Tuhan. Namun, apapun bentuknya, masyrû'iyyat pemerintahan mereka bersumber dari wilayah Ilahi dan disyaratkan tidak keluar dari jalan dan garis hak; sebagaimana Nabi Dawud As mendapatkan tugas dan perintah agar memerintah dan memutuskan perkara di antara masyarakat sesuai dengan hak.

Tauhid Dalam Uluhiyah
Dalam pembahasan tauhid sifat, telah kami isyaratkan bahwa salah satu dari prinsip keyakinan ini adalah masing-masing dari setiap sifat Tuhan itu tunggal dan tidak mempunyai keserupaan. Demikian pula telah kami ungkapkan bahwa ketunggalan ini dapat dikonsepsi dalam dua bentuk: pertama, Tuhan sedemikian hingga dalam ketunggalan-Nya sehingga makna sifat itu tidak benar sama sekali atas lain-Nya (kendatipun pada aspek sisi dan iktibar), kedua, kendatipun suatu tingkat dari tingkatan-tingkatan sifat juga terdapat pada selain Tuhan, tetapi sifat tersebut pada Tuhan dalam bentuk mutlak dan tidak terbatas, sedangkan pada selain Tuhan dalam bentuk muqayyad dan terbatas serta memiliki kait dan batasan imkan.
Salah satu dari sifat tunggal Tuhan yang tidak mungkin dipredikasikan pada selain-Nya adalah sifat uluhiyyah. Ilâh, secara pendekatan ilmu sharaf berada pada timbangan fi'âl, yang dalam sebagian penggunaan digunakan dengan makna maf'ûl; seperti kitâb yang bermakna maktûb. Tentang apa akar kata dari ilâh terdapat perbedaan pandangan; tetapi berdasarkan pandangan yang popular, ilâh bermakna ma'bûd (yang disembah) dan dimutlakkan atas sesuatu yang dijadikan sebagai ibadah atau yang layak diibadahi (sebagian juga berpandangan bahwa ilâh itu sendiri adalah sama dengan Tuhan). Dengan memperhatikan makna dari ilâh, maka makna dari tauhid dalam uluhiyyah juga menjadi jelas, yaitu keyakinan bahwa hanya Tuhan yang ma'bûd hakiki dan hanya Dia maujud yang layak disembah dan diibadahi. Sebagaimana dalam pembahasan-pembahasan akan datang akan kita lihat kalau tauhid dalam uluhiyyah ini mempunyai dimensi urgensi khusus dan secara asas penentangan masyarakat musyrik Arab pada dasarnya adalah dalam prinsip keyakinan tauhid ini. Al-Qur'an memberi kesaksian adanya keyakinan kaum musyrik Arab terhadap tauhid dalam khâliqiyyah (penciptaan): "Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab Allah"
Akan tetapi persoalan mereka ada pada bagian tauhid lainnya, dan khususnya tauhid dalam uluhiyyah. Oleh karena itu, al-Qur'an sangat memberi penekanan atas bagian dari tauhid ini supaya dapat mencegah penyimpangan besar yang tidak hanya terjadi dikalangan kaum musyrik Arab, akan tetapi juga menimpa kebanyakan musyrik sepanjang sejarah. Berasaskan ini, slogan tauhid Islam, secara khusus berpusat pada tuhid dalam uluhiyyah dan ungkapan seperti "Tidak ada ilâh (Tuhan) kecuali Allah", "Tidak ada ilâh kecuali Dia", "Tidak ada ilâh kecuali Aku", mengingkari secara jelas setiap bentuk ma'bud selain dzat Allah Yang Maha Suci.

Mengapa Satu Ilâh ?
Setelah jelas makna tauhid dalam uluhiyyah, maka pertanyaan ini akan muncul, mengapa maqam uluhiyyah hanya pantas diperuntukkan bagi dzat suci Tuhan dan yang lainnya tidak layak dalam maqam ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diberikan pertanyaan lain: sebenarnya maujud apa yang pantas manusia jadikan ilâh dan ma'bûdnya?
Dalam menjawab pertanyaan terakhir dapat dikatakan bahwa, dengan memperhatikan secara dalam makna uluhiyyah maka terpahami jika maujud yang pantas untuk maqam ini adalah maujud yang dari setiap dimensi harus sempurna dan dari semua bentuk kekurangan, kelemahan, serta keterbatasan mesti ternegasikan; yakni maujud pencipta seluruh alam, di antaranya adalah manusia dan Dia telah menyiapkan wasilah kesempurnaan bagi manusia serta Dia menciptakannya berada dalam jalan wusul kepada kebahagiaan hakikinya. Maujud ini adalah pemilik dan sahib ikhtiar manusia, dan seluruh perkara alam dan manusia berada di tangan-Nya.
Tidak diragukan, sifat-sifat di atas merupakan sifat-sifat yang terbatas hanya ada pada Tuhan; Tuhan yang berasaskan tauhid dzat, adalah dzat tunggal dan tidak mempunyai serupa serta tercegah dan mustahil bagi-Nya memiliki keserupaan dan kesetaraan. Oleh karena itu, Tuhan seluruh alam eksistensi, dikarenakan memiliki sifat-sifat sempurna yang tak terbatas maka Dia memiliki kepantasan uluhiyyah, dan dari aspek bahwa Tuhan ini adalah tunggal dan satu maka ilâh dan ma'bûd hakiki alam juga adalah satu dan esa.

Saling Kemestian Bagian-bagian Tauhid Nazhari
Dengan observasi singkat terhadap sebagian dari bagian-bagian terpenting tauhid nazhari yang telah kita lakukan, dimana setelah kita jelaskan makna masing-masing dari bagian tauhid tersebut secara landasan rasional, maka dengan memperhatikan terhadap makna dari bagian-bagian yang beragam tauhid teoritis tersebut, menjadi jelaslah bahwa terdapat semacam saling berhubungan di antara mereka. Ketika kita berpandangan bahwa dzat wajibul wujud adalah tunggal dan esa dan memandangnya suci dari setiap bentuk komposisi (tauhid dzat) maka kita akan sampai pada kenyataan ini bahwa tidak mungkin sifat-sifat sempurna dzat seperti ini keluar dari dzat-Nya; bahkan sifat-sifat ini adalah dzat itu sendiri (tauhid sifat) serta kita akan sampai pada konklusi bahwa tidak mungkin dzat demikian ini butuh kepada yang lain dalam perbuatan-perbuatannya; bahkan semua yang lain butuh kepada-Nya dalam perbuatan dan efek (tauhid perbuatan).
Bagian-bagian beragam dari tauhid perbuatan juga saling melazimkan satu sama lain; sebab dengan memperhatikan makna sifat-sifat seperti khâliqiyyat (penciptaan), mâlikiyyat (pemilikan), tadbîr (rububiyah), dan kepantasan disembah (uluhiyyah), maka menjadi jelaslah bahwa hakikat dari sifat-sifat ini tidak dapat terpisahkan satu sama lain; bahkan satu sama lain adalah saling memestikan.
Natijah penting pembahasan ini adalah pengajaran dan doktrin tauhid dalam Islam, merupakan suatu sistem sempurna dan utuh yang mana satu persatu dari bagian-bagiannya satu sama lain memiliki keharmonian dan kerelasian. Oleh karena itu, penolakan dari satu bagian dari keseluruhan bagian-bagian yang harmoni ini, dikarenakan saling kemestian maujud di antara mereka, maka akan berakhir pada suatu bentuk saling kontradiksi dan ketidaksesuaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar....